DALAM
sebuah laporan yang ditulis sebuah media nasional, pernah dituturkan bagaimana
kehidupan orang Indonesia yang menetap di berbagai negara. Umumnya mereka
berkehidupan cukup baik, setidaknya bila dibandingkan dengan nasib yang mereka
temui di dalam negeri. Semasa di Prancis pun, saya berteman akrab dengan suami
istri pekerja Indonesia yang sudah lebih dari dua dasawarsa hidup di ibu kota
negeri itu.
Sebagai
pekerja kontrak di sebuah hotel, katakanlah sebagai room girl, sang
istri ditemani suaminya yang tukang masak amatir hidup sangat bercukupan.
Dengan memiliki rumah tak kurang dari 400 meter persegi dua lantai, di tanah
seluas sekitar 700 meter di banlieue atau suburb Paris,
Gargenville (45 menit dengan kereta bawah tanah, Metro, ke pusat Paris),
keluarga pendatang itu bisa melakukan piknik hampir sekali setiap minggu dengan
peralatan yang cukup lengkap dan modern.
Ada
yang menarik dari ending tulisan di paragraf pertama, yang senada dengan
ungkapan hati teman saya di Gargenville. Para perantau Indonesia ternyata
memiliki tujuan hidup yang sama; pada akhirnya kembali ke kampung tradisional
mereka--tentu di Indonesia--dan menghabiskan hidup di sana. “Berapa pun harta
bisa saya dapat dan kumpulkan di sini, tetap saya akan kembali ke desa saya di
Purwokerto. Walau di sana hanya jadi tukang bakso, saya akan tetap menghabiskan
masa tua dan mati di sana.“
Soal
ungkapan semacam itu, tentu saja keluarga perantau urban dalam negeri pernah
mengalami, terutama orangtua yang selama ini hidup bersamanya di daerah urban
(kota). “Biarlah ayah/ibu tidak kalian temani, bahkan tidak dirawat atau
dibiayai, yang penting ayah/ibu bisa kembali ke desa, dekat rumah/makam
nenek/kakek, dan mati di sana.“
Semua
orang Indonesia, betapa pun jauh jarak yang ia tempuh saat pergi, betapapun
panjang waktu saat ia berdiam di negeri asing, memiliki kerinduan dan keinginan
sangat kuat dan sangat purba tentang tanah asal. Tanah bukan hanya tempat ia
mulai ada (dilahirkan) di dunia ini, melainkan juga ruang dan waktu yang
kemudian meneguhkan `keberadaan' dirinya sebagai makhluk bernama manusia yang
berakal, sosial, spiritual, dan kultural.
Posisi
tanah asal memang sangat primordial, `primus' dari dasar keberadaan dan
eksistensi kita sebagai manusia, menjadi acuan dan sumber peneguh
pertama--bahkan terakhir--yang tidak tergantikan bagi pengakuan diri kita
sebagai manusia sebagai bagian dari sebuah sociuz atau kelompok (komunitas,
masyarakat, etnik atau suku bangsa) tertentu.
Rantau
bagi Kita
Bagaimanapun
lekat dan integratifnya dunia asal dalam diri kita, merantau tetap menjadi
pilihan bagi sebagian kita yang ingin mencari kemungkinan kemungkinan lain
karena tidak cukup puas dengan pilihan-pilihan hidup di daerah asal. Hanya,
aktivitas merantau bangsa kita--yang maritim--sangatlah berbeda dengan
mereka--bangsabangsa--kontinental (daratan).
Bagi
bangsa daratan, merantau dilakukan/diperlukan ketika mereka merasa sumber daya
natural sudah tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang terus
berkembang. ereka perlu ke tempat lain untuk mendapatkan sumber kehidupan baru
di sana. Karena itu ketika mendapatkan tempat baru itu, mereka akan mengolah,
kalau perlu menguasai (mengolonisasi), daerah rantau. Mereka pun hidup menetap
di sana, beranakpinak dan menjadi bagian eksistensial daerah rantau itu.
Itulah
riwayat diaspora yang permanen dari bangsa-bangsa daratan seperti arya (India),
Yahudi, Arab, Armenia, dan China. Satu kenyataan dan sejarah yang sangat
berbeda dengan mereka yang berasal dari negeri kepulauan atau maritim seperti
Indonesia. Pada awalnya, perantauan itu dilakukan selalu melalui air/laut,
dengan berlayar. Sebagaimana pemeo para pelaut di mana pun, “Ada saatnya kau
pergi melintas cakrawala dan tiba saatnya kau kembali membuang sauh di bandar.“
Perantau Indonesia pasti akan
kembali, kapan pun. Itu alasan kenapa diaspora bangsa kita tidak sekuat mereka,
bangsa-bangsa yang disebut di atas. Bangsa kita, sejak mula, ribuan tahun
sebelum Yesus lahir, merupakan bangsa perantau dengan rentang jarak terjauh
bila dibandingkan dengan bangsa mana pun di atas bumi ini. Itu karena samudra
memang dua kali lipat lebih luas daripada daratan.
Hanya
bangsa maritimlah yang mampu menaklukkannya, sejak dulu kala.
Intensi
perantauan itu pun bukanlah penaklukan dan kolonisasi tanah sebagai sumber daya
sebagaimana orang daratan. Bagi bangsa pelaut, perantauan merupakan eksplorasi,
untuk ilmu dan spiritualisme, menghargai laut sebagai saudara dan jalan menuju
`Tuhan'. Maka cermatilah, betapa umumnya dewa-dewa tradisional atau primor dial
kita biasanya berasal dan berdiam di tengah laut/samudra.
Karena itu pula, rantau bagi orang
Indonesia bersifat sementara. Ia akan kembali. Tidak mengherankan jika bangsa
ini ialah bangsa terkaya dalam khazanah kuliner yang bertahan lama, untuk
kebutuhan perjalanan itu.
Tak
ada bangsa mana pun yang mampu menciptakan makanan, yang tidak hanya bertahan
lama--bahkan berbulan-bulan--tetapi juga semakin enak.
Lihatlah gudeg, tapai, tempe, sayur tolo, kerupuk palembang, nasi timbel, dan sebagainya. Tak mengherankan bila rendang dapat menjadi masakan paling favorit masyarakat dunia dalam polling yang dilakukan di Amerika Serikat.
Lihatlah gudeg, tapai, tempe, sayur tolo, kerupuk palembang, nasi timbel, dan sebagainya. Tak mengherankan bila rendang dapat menjadi masakan paling favorit masyarakat dunia dalam polling yang dilakukan di Amerika Serikat.
Sinkretisme
Mudik
Merantau
merupakan sebuah kegiatan dan pilihan hidup yang sudah given bagi para
penduduk di kepulauan Nusantara ini. Ia bukan menjadi sebab dan alasan untuk
sekadar mencari penghasilan atau kekayaan, apalagi sebagai motif politik ketika
seseorang mendapat tekanan politik di daerah asalnya. Karena itu, betapapun
guncang dan chaos negeri ini, dunia tidak pernah mencata adanya pelarian
atau pengungsian orang Indonesia yang merepotkan negara/bangsa lain.
Hal
yang terasa ironis dari rantau ialah paradoksnya. Di satu sisi ia memberi
kita--para perantau--ilmuilmu baru, kesempatan atau peluang baru, bahkan
kejayaan baru. Namun di sisi lain, ia juga memberi kita ruang dan desakan (yang
begitu kuat) untuk melakukan pelanggaran bahkan pengkhianatan pada nilai-nilai
luhur yang dahulu kita pahami, pelajari, dan internalisasi di daerah asal (desa
atau adat kelahiran). Kota atau daerah rantau telah menggiring kita untuk
mengingkari karakter dan jati diri kita yang sebenarnya. Di kota dan rantau
kita retak, rapuh, hancur, penuh salah, keliru, dan dosa.
Sadar
atau tidak, sengaja atau tidak, rantau atau kota sebenarnya telah mengikis
eksistensi atau keberadaan kita yang integrated, utuh, dan berkarakter.
Untuk itulah kita selalu membutuhkan sebuah ruang teguh tempat kita bisa
menautkan kembali diri kita agar tidak merasa hilang atau lenyap sama sekali di
dunia rantau/kota. Ruang yang ternyata ada di dalam dunia tradisi atau
primordial, ruang yang teguh dan terpelihara begitu lama, lebih lama
bahkan--katakanlah--daripada semua bangsa modern di Eropa.
Itulah
ruang dan tautan yang membuat kita menjadi Sunda, Bugis, Minang, Flores, Jawa,
atau Bali begitu napas pertama kita hirup saat lahir di dunia, sebelum kita
menyadari kita menjadi bagian formal sebagai penduduk Indonesia, memiliki KTP,
bayar pajak, bahkan sebelum kita memi liki agama. Lebih dulu Anda menjadi orang
Madura sebelum Anda menjadi Islam misalnya, dan seterusnya.
Karena
itu, kita semua membutuhkan mudik sebagai sebuah aktivitas untuk meneguhkan
kembali jati diri kita, meneguhkan keberadaan dan eksistensi kita sebagai
manusia. Kita membutuhkan kembali semua tautan kultural tempat kita
berpegangan, diterima, dan menjadi bagian dari komunitas tradisional yang sejak
lahir kita menjadi identitas purba kita. Kita tidak akan pernah tenang atau
mati dengan mata dan hati terpejam bila dunia asal dan primordial itu tidak
kita temukan atau tidak menerima kita. Seolah tanah pun enggan menerima jasad
dan jiwa kita. menerima jasad dan jiwa kita.
Peristiwa
mudik terjadi sepanjang masa kehidupan kita ber bangsa. Lebaran atau Idul Fitri
merupakan momen yang dianggap tepat untuk menyelengga rakan mudik itu secara
kolektif. Tidak mengherankan bila di setiap perayaan agama Islam itu, mudik terjadi
sangat masif; begitu masif sehingga dunia terpana dan tak ada bangsa mana pun
dapat menyamainya. Itu membuat Idul Fitri menjadi puncak perayaan terbesar
agama Islam di negeri ini, lebih dari negeri Islam mana pun.
Itulah
bentuk sinkretis kita yang paripurna. Dua ide, kultural dan spiritual, tradisi
dan agama, menyatu dalam praksis dan renungan idealistisnya. ‘Kembali ke
fitri’
secara religius juga berarti `kembali ke diri kultural' dalam adatnya. Betapa indah. Sayangnya itu hanya bersifat sementara, seminggu dan dua minggu. Karena 50 minggu sesudahnya, kita kembali ke kota untuk hancur, bias, berkhianat, dan berdosa. Merusak diri, juga dunia di sekitar kita.
secara religius juga berarti `kembali ke diri kultural' dalam adatnya. Betapa indah. Sayangnya itu hanya bersifat sementara, seminggu dan dua minggu. Karena 50 minggu sesudahnya, kita kembali ke kota untuk hancur, bias, berkhianat, dan berdosa. Merusak diri, juga dunia di sekitar kita.