Rabu, 23 Mei 2012

Bangsa Pecundang?


Secara de jure dan de facto, Indonesia telah merdeka dan menjadi Negara yang berdaulat, hal ini bisa dilihat dari adanya pengakuan Negara-negara arab khususya Mesir, Syria, Iraq, Lebanon, Yaman, Saudi Arabia dan Afghanistan. Dan dukungan kemerdekaan dari Negara-negara Arab.  Secara resmi keputusan sidang Dewan Liga Arab tanggal 18 November 1946 menganjurkan kepada semua negara anggota Liga Arab supaya mengakui Indonesia sebagai negara merdeka yang berdaulat. Alasan Liga Arab memberikan dukungan kepada Indonesia merdeka didasarkan pada ikatan keagamaan, persaudaraan serta kekeluargaan.

Namuun, apakah secara ekonomi Indonesia juga telah merdeka? Ya, secara ekonomi Indonesia adalah Negara merdeka seperti yang diungkapkan Anggito Abimanyu, ekonom yang juga mantan orang pemerintah, yakin sekali bahwa Indonesia telah merdeka secara ekonomi. Keyakinan Anggito didasarkan pada tiga hal. Pertama, perencanaan ekonomi kita telah dibuat oleh bangsa Indonesia serta diinisiasi pemerintah pusat dan daerah. Pengelolaan ekonomi telah dirancang, disahkan, dilaksanakan, dan diawasi sendiri melalui system pemerintahan yang modern dan demokratis. Kepemilikan atas asset-aset dan cabang produksi strategis telah banyak diatur dengan mengedepankan aspek nasional.
Lha….lantas alasan apa yang menyebut bangsa kita bangsa pecundang? Bung Karno pernah mengindikasikan empat hal suatu bangsa dikatakan bangsa pecundang. Pertama adalah bangsa yang membiarkan keadaan negaranya sebagai pengekspor buruh murah ke luar negeri. Apakah kita melakukan itu saat ini? Ya, telah banyak pakta, kenyataan bagaimana banyaknya kekerasan terhadap TKW kita. Hal tersebut disebabkan tenaga kerja dikirim tanpa keahlian yang memadai dan terkesan dipaksakan. Pada umumnya tenaga kerja dari Indonesia di sana memang sudah dianggap "bermental babu". Dalam artian mereka bersedia melakukan apa saja, meski dengan bayaran murah dan menyalahi aturan yang sudah disepakati dalam kontrak kerja. 

Kedua adalah berkaitan dengan kemerdekaan ekonomi dimana kepemilikan atas asset-aset dan cabang produksi strategis telah banyak diatur dengan mengedepankan aspek nasional bangsa, sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 pasal 33.  Bagaimana dengan Indonesia? Penghasil sumber daya alam (SDA) tetapi hanya menjadi tempat penanaman modal asing (PMA). Bukankah sudah mulai marak juga di Indonesia? Bukan marak lagi tetapi sudah  banyak aset-aset alam kita yang telah dikelola oleh perusahaan asing, meski diantaranya ada yang melalui perusahaan indonesia tetapi tetap saja 90% sahamnya milik asing. Bangsa kita yang paling berhak menuai kekayaan di negeri sendiri, hanya bisa menjadi budak dan berakhir di bawah garis kemiskinan. Jauh dari kata sejahtera yang dijamin oleh undang-undang.

Ketiga indikasinya adalah bangsa yang hanya menjadi pasar bagi komoditas bangsa-bangsa maju. Wah kalau yang ini jelas sudah terlihat. Maraknya berita di koran tentang usaha-usaha lokal yang terancam gulung tikar atau bahkan sudah gulung tikar karena tidak bisa bersaing di pasar global. Mereka tidak bisa bersaing jika kita terus menerus membeli barang-barang import, kita membeli barang import karena kualitasnya yang jauh lebih baik, tetapi sisi lain juga mengatakan para pengusaha lokal tidak mampu meningkatkan kualitas karena minat pembeli yang rendah pula karena peningkatan kualitas tidaklah murah biayanya. Yang lebih memprihatinkan lagi Indonesia dijadikan tempat buang sampah barang-barang bekas dari Negara lain. Ini sudah ter identipikasi dengan ditemukannya barang-bekas berbahaya telah masuk ke Indonesia dengan alasan untuk mendaur ulang barang barang bekas tersebut, tetapi apakah kita merasa bangga dijadikan tempat sampah bagi Negara lain?

Keempat, di mana peran pemerintah? Salah satunya bisa kita lihat bagaimana birokrasi tumbuh di Negara kita, Penegakan hukum, atau dalam kehidupan masyarakat, adakah bibit-bibit korupsi itu di sana?  Saya yakin lebih banyak orang mengatakan kalau korupsi, kolusi dan nepotisme masih terjadi di birokrasi dan masyarakat kita. Bahkan bibit-bibit itu masih tumbuh subur di kehidupan masyarakat kita. Tidak berlebihan kalau mental kita mental orang-orang yang dijajah, mental penjilat pada yang lebih berkuasa. Bahkan tuan-tuan terhormat yang duduk empuk dan tidur saat sidang rakyat itu menjajah bangsanya sendiri dan menjilat pada penguasa. Hanya segelintir orang yang masih terus berusaha berjalan lurus. Sepertinya ini sudah menjadi penyakit akut yang beregenerasi sangat cepat, penyakit akut yang tersebar di semua kalangan negeri ini. Pembodohan kerap diberlakukan di negeri ini, yang sebetulnya belum benar-benar merdeka selama masih ada yang kelaparan, selama masih banyak yang tak berpendidikan. Kita akan terus menjadi bangsa budak.

Jangan munafik, akuilah kita memang bangsa budak, bangsa pecundang. 
Setelah benar-benar tersadar, masihkah kita mau menjadi bangsa budak, bangsa pecundang?

Pangumbaraan, 23 Mei 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar