Selasa, 31 Januari 2012

Kearifan lokal modal membangun bangsa


Kearifan (wisdom) dan lokal adalah dua kata yang sebenarnya memiliki arti sendiri-sendiri. Kearifan adalah kata sifat yang melekat pada karakter seseorang, yang berati arif dan bijaksana. Sedangkan lokal adalah kondisi sebuah tampat atau setempat. Tetapi ketika digabungkan menjadi satu, kearifan lokal, maka maknanya sangatlah luas, terutama menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan tata nilai, kebiasaan, tradisi, baik budaya maupun agama, yang menjadi aturan dan kesepakatan tempatan (lokalitas). Sebab itu, kearifan lokal bisa juga dimaknai sebagai gagasan-gagasan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik dan tertanam serta diikuti oleh anggota masyarakatnya.
Sejauh ini, pemaknaan terhadap kearifan lokal dalam dunia pendidikan kita sangatlah kurang. Memang ada istilah muatan lokal dalam struktur kurikulum pendidikan kita, tetapi pemaknaannya sangatlah formal karena muatan lokal sama sekali kurang mengeksporasi kearifan lokal. Muatan lokal hanya sebatas bahasa daerah dan tari daerah yang diajarkan secara apa adanya. Tetapi, melupakan bagaimana kearifan lokal seharusnya dimasukkan dalam skema pedagodis secara kritis dan berkesinambungan.
Tantangan dunia pendidikan kita saat ini sangatlah kompleks. Apalagi jika dikaitkan dengan kemajuan global di bidang sain dan teknologi, nilai-nilai lokal, seperti hilang dan ditinggalkan. Karena itu eksplorasi terhadap kekayaan luhur budaya bangsa sangat perlu untuk dilakukan, sekaligus juga berupaya untuk mengkritisi eksistensinya terkait dengan keniscayaan adanya perubahan budaya. Ruang eksplorasi dan pengkajian kearifan lokal menjadi tuntutan tersendiri bagi pengembangan lembaga pendidikan dan usaha-usaha eksplorasi khasanah budaya bangsa pada umumnya.
Kearifan lokal sesungguhnya meninggalkan banyak sekali rekam jejak keteladanan dan kebijaksanaan hidup. Di tengah maraknya para tokoh politik, pejabat, praktisi, dan pengamat pendidikan yang bicara soal norma pendidikan, tetapi perilaku mereka sangat bertolak belakang dengan kenyataan pada umumnya. Mereka bicara pendidikan tapi minus keteladanan. Jelas bahwa mereka adalah para hipokrit yang bersembunyi di balik kebijakan pendidikan tetapi tak pernah belajar dari keteladanan yang genuine dari kearifan lokal budaya bangsa.

Kearifan lokal sebagai modal kehidupan berbangsa
Sekarang ini umat manusia berada dalam era pasca modern, yakni era hampir segala kegiatan manusia ditunjang oleh kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi. Dalam era ini manusia memiliki banyak guru, baik guru yang bisa bernapas maupun guru yang tidak bisa bernapas, guru yang bisa bernapas dan memiliki perasaan terbatas. Guru-guru yang dimaksud adalah orang tua di rumah, guru di sekolah, dan warga masyarakat di lingkungan; sedangkan guru yang tidak bernapas dan tidak memiliki perasaan terdiri atas buku-buku bacaan, televisi, dan internet. Tetapi sejatinya guru yang tidak bernapas dan tidak memiliki perasaan tersebut menyediakan waktu, informasi, dan pengetahuan yang lebih banyak dan lebih menarik ketimbang guru yang bisa bernapas. Guru yang tidak bernapas tersebut tidak mengenal lelah dan mereka selalu siap menemani murid-muridnya kapan saja. Mereka tidak pernah memarahi, mengkritik, atau mengolok-olok. Mereka hanya menemani, memberitahu, dan memberi informasi yang dibutuhkan. Sayangnya, informasi tersebut bukan hanya informasi yang baik, tetapi juga termasuk informasi yang buruk.
Guru yang tidak bernapas tersebut tak pernah mengajarkan dengan perasaan tentang yang baik dan yang buruk, tentang yang membangun dan yang merusak, tentang yang susila dan yang asusila. Para penggunanya atau murid-muridnya disuruh memilih sendiri, tanpa sanksi, tanpa ancaman, dan tanpa desakan. Senyatanya guru yang tidak bernapas ini memiliki pengaruh yang lebih kuat daripada guru yang bernapas. Oleh karena itu terjadinya carut-marut dan keamburadulan nilai di kalangan masyarakat diduga dipicu oleh pelajaran yang diperoleh dari guru yang tidak bernapas dan tidak berperasaan tadi.
Setiap kelompok etnik di Indonesia memiliki kearifan dan keunggulan lokal yang oleh sebagian pendukungnya dijadikan rujukan untuk mengarahkan dan mensejahterakan kehidupan sehari-hari. Kearifan lokal inilah yang diharapkan dapat membantu menghadapi dampak negatif dari para guru yang tidak bernapas dan tidak berperasaan. Dalam lingkaran keluarga, kearifan lokal dapat menjadi tuntunan untuk membangun kehidupan berkeluarga yang baik dan sejahtera. Dalam lingkaran kehidupan berbangsa kearifan lokal menawarkan rujukan tentang pentingnya kesatuan dan persatuan untuk mencapai tujuan bersama. Tetapi harus diakui bahwa jumlah pendukung kearifan lokal makin lama makin menurun.
Paling tidak, diduga ada 2 hal yang menjadi penyebab turunnya kuantitas dan kualitas dukungan. Pertama, arus informasi diduga telah menjadi salah satu pemicu mengapa kearifan lokal yang dapat menjadi mutiara kehidupan tak lagi manampakkan efektivitasnya. Pengejaran terhadap materi yang lebih mendapat tempat ketimbang pengejaran terhadap terbentuknya perilaku utama menjadi salah satu alasan memudarnya efektifitas kearifan lokal. Kedua, sosialisasi tentang pentingnya kearifan Jawa tak lagi mentradisi dan mengakar dalam kehidupan berbangsa, fenomena ini sangat merugikan. Ada kesan yang memprihatinkan : peradahan makin maju, tetapi kebiadapan juga makin melaju.
Di seluruh penjuru bumi hampir semua orang bangga dan terkesima oleh perkembangan teknologi tinggi dan pembangunan infrastruktur, tapi di balik itu, mereka juga ketakutan terhadap makin merosotnya nilai kemanusiaan yang menggejala di depan matanya. Kini bumi kita meniadi panggung yang menghibur, tetapi sekaligus juga planet yang mengkhawatirkan. Manusia menjadi cemas dan bersedih oleh perilakunya sendiri, di mana-mana terjadi tindak kekerasan, ketidak adilan, pengrusakan, kebohongan publik, pembunuhan, serta berbagai pengingkaran terhadap nilai-nilai mulia. Dengan singkat manusia telah sangat maju dalam hal pengetahuan (kognitif) tetapi menjadi mundur dalam hal moralitas, penghayatan terhadap agama, hasrat untuk membangun kebersamaan, dan miskin penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang diembannya sejak lahir. Dalam situasi seperti ini kehadiran kearifan lokal yang menjadi modal bagi pembentukan budi pekerti luhur sangat didambakan.
Banyak sekali kearifan lokal yang masih relevan dengan kehidupan masa sekarang, salah satunya yang tumbuh dan berkembang di tatar sunda :
Paribasa atau pepatah yang sudah diinformasikan secara lisan turun temurun dari para leluhur (karuhun) untuk bekal menjalani kehidupan.
Hubungan Dengan Sesama Mahluk
1.             Ngeduk cikur kedah mihatur nyokel jahe kedah micarek (Trust ngak boleh korupsi, maling, nilep, dlsb… kalo mo ngambil sesuatu harus seijin yg punya).
2.             Sacangreud pageuh sagolek pangkek (Commitment, menepati janji & consitent).
3.             Ulah lunca linci luncat mulang udar tina tali gadang, omat ulah lali tina purwadaksina (integrity harus mengikuti etika yang ada)
4.             Nyaur kudu diukur nyabda kudu di unggang (communication skill, berbicara harus tepat, jelas, bermakna.. tidak asbun).
5.             Kudu hade gogod hade tagog (Appearance harus dijaga agar punya performance yg okeh dan harus consitent dengan perilakunya –> John Robert Power melakukan training ini mereka punya Personality Training, dlsb).
6.             Kudu silih asih, silih asah jeung silih asuh (harus saling mencintai, memberi nasihat dan mengayomi).
7.             Pondok jodo panjang baraya (siapapun walopun jodo kita tetap persaudaraan harus tetap dijaga)
8.             Ulah ngaliarkeun taleus ateul (jangan menyebarkan isu hoax, memfitnah, dlsb).
9.             Bengkung ngariung bongok ngaronyok (team works & solidarity dalam hal menghadapi kesulitan/ problems/ masalah harus di solve bersama).
10.         Bobot pangayun timbang taraju (Logic, semua yang dilakukan harus penuh pertimbangan fairness, logic, common sense, dlsb)
11.         Lain palid ku cikiih lain datang ku cileuncang (Vision, Mission, Goal, Directions, dlsb… kudu ada tujuan yg jelas sebelum melangkah).
12.         Kudu nepi memeh indit (Planning & Simulation… harus tiba sebelum berangkat, make sure semuanya di prepare dulu).
13.         Taraje nangeuh dulang pinande (setiap tugas harus dilaksanakan dengan baik dan benar).
14.         Ulah pagiri- giri calik, pagirang- girang tampian (jangan berebut kekuasaan).
15.         Ulah ngukur baju sasereg awak (Objektivitas, jangan melihat dari hanya kaca mata sendiri).
16.         Ulah nyaliksik ku buuk leutik (jangan memperalat yang lemah/ rakyat jelata)
17.         Ulah keok memeh dipacok (Ksatria, jangan mundur sebelum berupaya keras).
18.         Kudu bisa kabulu kabale (Gawul, kemana aja bisa menyesuaikan diri).
19.         Mun teu ngopek moal nyapek, mun teu ngakal moal ngakeul, mun teu ngarah moal ngarih (Research & Development, Ngulik, Ngoprek, segalanya harus pakai akal dan harus terus di ulik, di teliti, kalo sudah diteliti dan dijadikan sesuatu yang bermanfaat untuk kehidupan).
20.         Cai karacak ninggang batu laun laun jadi dekok (Persistent, keukeuh, semangat pantang mundur).
21.         Neangan luang tipapada urang (Belajar mencari pengetahuan dari pengalaman orang lain).
22.         Nu lain kudu dilainkeun nu enya kudu dienyakeun (speak the truth nothing but the truth).
23.         Kudu paheuyeuk- heuyeuk leungeun paantay-antay tangan (saling bekerjasama membangun kemitraan yang kuat).
24.         Ulah taluk pedah jauh tong hoream pedah anggang jauh kudu dijugjug anggang kudu diteang(maju terus pantang mundur).
25.         Ka cai jadi saleuwi kadarat jadi salogak (Kompak/ team work).
dlsb

Hubungan Dengan Tuhan (Yang Maha Kuasa)
1.             Mulih kajati mulang kaasal (semuanya berasal dari Yang Maha Kuasa yang maha murbeng alam, semua orang akan kembali keasalnya).
2.             Dihin pinasti anyar pinanggih (semua kejadian telah ditentukan oleh Yang Maha Kuasa yang selalu menjaga hukum-hukumnya).
3.             Melak cabe jadi cabe melak bonteng jadi bonteng, melak hade jadi hade melak goreng jadi goreng (Hukum Yang Maha Kuasa adalah selalu menjaga hukum-2nya, apa yang ditanam itulah yang dituai, kalau kita menanam kebaikan walaupun sekecil elektron tetep akan dibalas kebaikan pula, kalau kita menanam keburukan maka keburukan pula yg didapat…. kira-2 apa yang sudah kita tanam selama ini sampai-2 Indonesia nyungseb seeeeeb.
4.             Manuk hiber ku jangjangna jalma hirup ku akalna (Gunakan akal dalam melangkah, buat apa Yang Maha Kuasa menciptakan akal kalau tidak digunakan sebagai mestinya).
5.             Nimu luang tina burang (semua kejadian pasti ada hikmah/ manfaatnya apabila kita bisa menyikapinya dengan cara yang positive).
6.             Omat urang kudu bisa ngaji diri (kita harus bisa mengkaji diri sendiri jangan suka menyalahkan orang lain)
7.             Urang kudu jadi ajug ulah jadi lilin (Jangan sampai kita terbakar oleh ucapan kita, misalnya kita memberikan nasihat yagn baik kepada orang lain tapi dalam kenyataan sehari- hari kita terbakar oleh nasihat-2 yang kita berikan kepada yang lain tsb, seperti layaknya lilin yang memberikan penerangan tapi ikut terbakar abis bersama api yang dihasilkan).
dlsb.

Hubungan Dengan Alam
1.             Gunung teu meunang di lebur, sagara teu meunang di ruksak, buyut teu meunang di rempak(Sustainable Development ~ Gunung tidak boleh dihancurkan, laut tidak boleh dirusak dan sejarah tidak boleh dilupakan… harus serasi dengan alam.).
2.             Tatangkalan dileuweung teh kudu di pupusti (Pepohonan di hutan ituh harus di hormati, harus dibedakan istilah dipupusti (dihormati) dengan dipigusti (di Tuhankan) banyak yang salah arti disini).
3.             Leuweung ruksak, cai beak, manusa balangsak (hutan harus dijaga, sumber air harus dimaintain kalo tidak maka manusia akan sengsara).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar