Secara de jure dan de
facto, Indonesia telah merdeka dan menjadi Negara yang berdaulat, hal ini bisa
dilihat dari adanya pengakuan Negara-negara arab khususya Mesir, Syria, Iraq,
Lebanon, Yaman, Saudi Arabia dan Afghanistan. Dan dukungan kemerdekaan dari Negara-negara
Arab. Secara resmi keputusan sidang
Dewan Liga Arab tanggal 18 November 1946 menganjurkan kepada semua negara
anggota Liga Arab supaya mengakui Indonesia sebagai negara merdeka yang
berdaulat. Alasan Liga Arab memberikan dukungan kepada Indonesia merdeka
didasarkan pada ikatan keagamaan, persaudaraan serta kekeluargaan.
Namuun, apakah secara
ekonomi Indonesia juga telah merdeka? Ya, secara ekonomi Indonesia adalah Negara
merdeka seperti yang diungkapkan Anggito Abimanyu, ekonom yang juga mantan
orang pemerintah, yakin sekali bahwa Indonesia telah merdeka secara ekonomi. Keyakinan
Anggito didasarkan pada tiga hal. Pertama, perencanaan ekonomi kita telah
dibuat oleh bangsa Indonesia serta diinisiasi pemerintah pusat dan daerah.
Pengelolaan ekonomi telah dirancang, disahkan, dilaksanakan, dan diawasi
sendiri melalui system pemerintahan yang modern dan demokratis. Kepemilikan
atas asset-aset dan cabang produksi strategis telah banyak diatur dengan
mengedepankan aspek nasional.
Lha….lantas alasan apa yang menyebut bangsa kita bangsa
pecundang? Bung Karno pernah mengindikasikan empat hal suatu bangsa dikatakan
bangsa pecundang. Pertama adalah bangsa yang membiarkan keadaan negaranya
sebagai pengekspor buruh murah ke luar negeri. Apakah kita melakukan itu saat
ini? Ya, telah banyak pakta, kenyataan bagaimana banyaknya kekerasan terhadap
TKW kita. Hal tersebut disebabkan tenaga kerja dikirim tanpa keahlian yang
memadai dan terkesan dipaksakan. Pada umumnya tenaga kerja dari Indonesia di
sana memang sudah dianggap "bermental babu". Dalam artian mereka
bersedia melakukan apa saja, meski dengan bayaran murah dan menyalahi aturan
yang sudah disepakati dalam kontrak kerja.
Kedua adalah berkaitan dengan
kemerdekaan ekonomi dimana kepemilikan atas asset-aset dan cabang produksi
strategis telah banyak diatur dengan mengedepankan aspek nasional bangsa, sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 pasal 33. Bagaimana dengan Indonesia? Penghasil sumber
daya alam (SDA) tetapi hanya menjadi tempat penanaman modal asing (PMA).
Bukankah sudah mulai marak juga di Indonesia? Bukan marak lagi tetapi sudah banyak aset-aset alam kita yang telah dikelola
oleh perusahaan asing, meski diantaranya ada yang melalui perusahaan indonesia
tetapi tetap saja 90% sahamnya milik asing. Bangsa kita yang paling berhak
menuai kekayaan di negeri sendiri, hanya bisa menjadi budak dan berakhir di
bawah garis kemiskinan. Jauh dari kata sejahtera yang dijamin oleh undang-undang.
Ketiga indikasinya adalah bangsa
yang hanya menjadi pasar bagi komoditas bangsa-bangsa maju. Wah kalau yang ini
jelas sudah terlihat. Maraknya berita di koran tentang usaha-usaha lokal yang
terancam gulung tikar atau bahkan sudah gulung tikar karena tidak bisa bersaing
di pasar global. Mereka tidak bisa bersaing jika kita terus menerus membeli
barang-barang import, kita membeli barang import karena kualitasnya yang jauh
lebih baik, tetapi sisi lain juga mengatakan para pengusaha lokal tidak mampu
meningkatkan kualitas karena minat pembeli yang rendah pula karena peningkatan
kualitas tidaklah murah biayanya. Yang lebih memprihatinkan lagi Indonesia
dijadikan tempat buang sampah barang-barang bekas dari Negara lain. Ini sudah
ter identipikasi dengan ditemukannya barang-bekas berbahaya telah masuk ke Indonesia
dengan alasan untuk mendaur ulang barang barang bekas tersebut, tetapi apakah
kita merasa bangga dijadikan tempat sampah bagi Negara lain?
Keempat, di mana peran pemerintah? Salah
satunya bisa kita lihat bagaimana birokrasi tumbuh di Negara kita, Penegakan hukum,
atau dalam kehidupan masyarakat, adakah bibit-bibit korupsi itu di sana? Saya yakin lebih banyak orang mengatakan kalau
korupsi, kolusi dan nepotisme masih terjadi di birokrasi dan masyarakat kita.
Bahkan bibit-bibit itu masih tumbuh subur di kehidupan masyarakat kita. Tidak berlebihan
kalau mental kita mental orang-orang yang
dijajah, mental penjilat pada yang lebih berkuasa. Bahkan tuan-tuan terhormat
yang duduk empuk dan tidur saat sidang rakyat itu menjajah bangsanya sendiri
dan menjilat pada penguasa. Hanya segelintir orang yang masih terus berusaha
berjalan lurus. Sepertinya ini sudah menjadi penyakit akut yang beregenerasi
sangat cepat, penyakit akut yang tersebar di semua kalangan negeri ini.
Pembodohan kerap diberlakukan di negeri ini, yang sebetulnya belum benar-benar
merdeka selama masih ada yang kelaparan, selama masih banyak yang tak
berpendidikan. Kita akan terus menjadi bangsa budak.
Jangan munafik, akuilah kita memang
bangsa budak, bangsa pecundang.
Setelah benar-benar tersadar, masihkah kita mau
menjadi bangsa budak, bangsa pecundang?
Pangumbaraan, 23 Mei 2012