Kinerja
aparatur negara sebagai salah satu dimensi dari administrasi publik masih
menjadi isupenting yang banyak dibicarakan baik oleh para akademisi maupun praktisi karena di samping merupakansubstansi utama dalam
akuntabilitas publik yang harus dilakukan oleh setiap institusi negara, juga
menjadi parameter keberhasilan pencapaian tujuan negara.
Aparatur
negara sebagai intrumen pilar pengemban amanah pencapaian masyarakat
adil dan makmur hingga saat ini
belum sepenuhnya mampu memenuhi harapan pemangku kepentingan (stakeholders) terutama karena kesulitan dalam menyeimbangkan tiga
tuntutan kebutuhan yang kadang-kadang seiring tapi tidak
sejalan yaitu tuntutan kebutuhan politis, tuntutan kebutuhan profesionalisme dan
tuntutan kebutuhan layak.
Penyebab
rendahnya kinerja aparatur negara
Beberapa
faktor penyebab rendahnya kinerja aparatur negara bagi pencapaian tujuan negara yaituantara
lain:
Pertama,
adanya arogansi kekuasaan. Hingga saat ini
kita masih melihat,
mendengar dan bahkan
merasakan adanya arogansi kekuasaan oknum aparatur negara yang dilakukan secara
sistematis tersembunyi maupun secara
terang-terangan. Pada praktek
penyelenggaraan administrasi
pemerintahan daerah arogansi kekuasaan ini terasa sangat kental mulai dari
recruitmen , mutasi, rotasi dan promosi
dengan mengangkat pegawai baru melalui penyimpangan aturan dan
mengangkat kolega-kolega pada jabatan
tertentu meskipun diyakini bahwa yang bersangkutan tidak akan mampu mengemban tugas bagi pencapaian visi daerah.
Nepotisme dalam segala bentuk dan perwujudannya
berhasil menyingkirkan meritokrasi
yang seharusnya ditaati oleh para aparat
penyelenggara pemerintahan daerah.
Premanisme penyelenggaraan administrasi
pemerintahan daerah sebagai wujud
dari arogansi kekuasaan bukanlah isapan jempol. Kasus semacam ini terjadi pada banyak daerah, dimana oknum pimpinan daerah
menggunakan para preman untuk mengintimidasi, mengancam physik dan psykhis kelompok lain (di dalam
dan di luar struktur pemerintahan daerah) yang dianggap berseberangan
atau kurang sepaham, dan jika yang berseberangan atau kurang sepaham
tersebut adalah aparat pemerintah daerah, maka upaya pembunuhan karakter dan pengkerdilan imajinasi dan pemikiran
dilakukan melalui pemarkiran yang bersangkutan pada jejeran bangku panjang alias non job seperti dialami oleh
banyak aparatur pemerintah pada
berbagai daerah di republik tercinta ini.
Arogansi
semacam ini tidak hanya milik dan terjadi pada ` penyelenggaraan administrasi pemerintahan daerah, tetapi juga
terjadi pada badan atau lembagalembaga pemerintah di tingkat pusat.
Arogansi kekuasaan ini disebabkan oleh dua hal yaitu
ketidaktaatan terhadap peraturan berlaku dan tidak adanya transparansi dalam
penyelenggaraan pemerintahan.
Masalah kedua yang dihadapi oleh aparatur negara
dalam menjalankan tugasnya adalah adanya intervensi berlebihan baik dari supra
institusi (institusi atasnya) maupun
infrastruktur politik, terutama partai politik berkuasa. Intervensi dilakukan mulai dari rekruitment pegawai,
penempatan jabatan, promosi sampai pada pemenangan tender proyek, sehingga
kemandirian aparatur negara untuk
melaksanakan suatu pekerjaan secara rasional sulit dilakukan. Dampaknya adalah,
aparatur negara berlomba-lomba untuk mendekatkan diri dengan penguasa atau
pihak yang mampu mengintervensi, dengan segala cara termasuk menggadaikan
profesionalitas,idealisme, prinsip, dan
moral. Asumsi yang dipakai adalah
kedekatan dengan penguasa jauh lebih menguntungkan dibanding memiliki pengetahuan
dan keterampilan yang tinggi karena
lebih memberi peluang untuk mendapatkan kekuasaan, dan jika kekuasaan diperoleh
maka peluang untuk mendapatkan pristise dan keuntungan finansial telah terbuka
lebar. Cara berpikir konvensional semacam ini
masih dipertahankan dan bahkan dikembangkan oleh tidak sedikit aparatur
negara ditambah lagi dengan
hedonisme dan ambisi berlebihan akan kekuasaan yang merasuki pikiran
aparatur negara berakibat pada
terkurasnya energi bagi upaya mendekatkan diri dengan penguasa daripada
dimanfaatkan untuk penyelesaian tugas-tugas rutin. Ambisi yang berlebihan pada akhirnya
dapat mendorong seseorang untuk melakukan jalan pintas, menghalalkan
segala cara dengan menabrak rambu-rambu moral, agama dan hukum berlaku.
Masalah
ketiga yang dihadapi aparatur negara adalah lemahnya tim kerja (team work) karena
dua hal yaitu ketidakmampuan manajerial dan inefisiensi. Telah kita ketahui
bersama bahwa administrasi merupakan
proses kerjasama kelompok orang yang terorganisir untuk mencapai tujuan tertentu.
Dalam
hal administrasi negara berarti
proses kerjasama dari segenap
aparatur negara untuk mencapai tujuan negara. Maknanya adalah perlu
adanya kerjasama tim (team work), karena pencapaian tujuan negara hanya mungkin
dilakukan jika terjalin kerjasama antar
aparatur negara terkait.
Pada
level institusi, lembaga, dinas, biro, bidang, dan lain-lain dalam banyak kasus
kerjasama tim tidak dapat tumbuh dengan baik akibat ketidakmampuan pimpinan
dalam menggerakkan, mengelola, mengarahkan staf dalam upaya pencapaian tujuan
organisasi. Pimpinan kadang-kadang sibuk dengan kepentingannya sendiri, fokus
perhatiannya tidak pada pencapaian tujuan
dan pengembangan organisasi
tetapi lebih pada upaya agar jabatannya
tetap survive dan langgeng, kurang memiliki komitmen untuk mengembangkan
kinerja staf dan organisasi secara keseluruhan. Padahal kita ketahui bersama hasil penelitian pada banyak
negara hanya sekitar 20 persen dari
jumlah pegawai suatu organisasi yang
loyal, berdedikasi dan mampu menangani pekerjaannya secara baik, 60 persen
abu-abu dalam arti dapat loyal,
berdedikasi dan bekerja dengan baik asal pimpinan mampu menggerakkan dan
mengarahkan mereka, sedang 20 persen sisanya selalu memposisikan diri sebagai
musuh pimpinan, yang lebih senang melihat kejatuhan pimpinan dan kegagalan
pencapaian tujuan organisasi.
Bagi
seorang pimpinan, komitmen melakukan perubahan, mengembangkan aparat, dan
meningkatkan kinerja adalah penting untuk dilakukan karena upaya tersebut
berkaitan dengan pencapaian tujuan
terlebih jika organisasi yang
dipimpinnya bersentuhan langsung dengan
pelayanan bagi peningkatan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat luas.
Efisiensi merujuk pada perbandingan terbaik antara hasil dengan usaha(output –
input), besaran dana, tenaga, fikiran yang dikeluarkan dengan hasil yang
diperoleh, besaran / jumlah aparatur negara dengan pekerjaan yang harus
ditangani. Dalam banyak hal aparatur negara bekerja sangat tidak efisien,
boros, menghambur hamburkan dana, mubazir. Banyak dana yang dikeluarkan dengan
perolehan hasil yang tidak seimbang baik kualitas maupun kuantitas. Banyak
ruang kerja yang bagus-bagus lengkap dengan fasilitas pendingin udara,
computer, kulkas, TV, dan lain-lain namun tidak menghasilkan apa-apa. Ratusan
bahkan ribuan pegawai berangkat pagi ke
kantor namun tidak berbuat apa-apa hingga tiba waktu pulang kerja pada sore
hari selama berhari-hari, dan bahkan berminggu. Inefisiensi
sekurang-kurangnya terkait dengan tiga hal:
(1)
Pengambilan keputusan.
Kekeliruan
pimpinan puncak dalam merumuskan kebijakan maupun dalam menunjuk pejabat pelaksana untuk mengimplementasikan kebijakan yang
telah dirumuskan. Kekeliruan ini dapat terjadi karena kurangnya informasi
tentang data yang benar, atau distorsi
informasi diterima pimpinan puncak, sehingga terjadi kekeliruan dalam
pengambilan keputusan, dan hal disebut terakhir berdampak pada inefisiensi
organisasi.
(2)
Kemampuan kerja (kapasitas) pegawai bersangkutan.
Kemampuan
kerja terkait erat dengan kompetensi yang dimiliki aparatur negara yang
meliputi kompetensi teknis, kompetensi sosial, dan kompetensi
intelektual Semakin tinggi kemampuan kerja
pegawai 5 akan semakin efisien dalam bekerja, terutama dilihat dari
aspek metode kerja dan penyelesaian masalah.
(3)
Semangat dan budaya kerja.
Semangat
kerja berhubungan dengan fighting
spirite, daya juang, ambisi, dan cita-cita. Sedang budaya kerja terkait dengan
persepsi, prinsip, nilai, dan lain-lain
yang terbentuk atas dasar pengalaman dan lingkungan. Semangat kerja yang
tinggi dengan didukung oleh budaya kerja yang selalu berorientasi pencapaian
kerja (achievement oriented)
akan
mengurangi inefisensi.
Model
kinerja aparatur negara
Untuk
mengatasi hal-hal yang saya kemukakan pada bagian awal tulisan beberapa
faktor penting yang harus diperhatikan bagi peningkatan kinerja aparatur negara
adalah:
1.Komitmen
pimpinan
Komitmen disini diartikan sebagai kemauan
yang sungguh-sungguh untuk bekerja secara baik dan benar. Komitmen pimpinan
berarti kemauan yang sungguh-sungguh
dari pimpinan untuk menjalankan tugas bagi pencapaian tujuan organisasi secara
baik dan benar. Adapun tugas utama dari seorang pimpinan menurut saya adalah:
Pertama,
mengelola dan menggerakkan seluruh sumber daya
yang dimilikisecara berkeadilan bagi pencapaian tujuan organisasi. Setiap
organisasi dilengkapi dengan segenap sumber daya baik yang tampak maupun tidak
tampak. Gedung kantor, notebooks, meja kursi,
kendaraan dinas roda empat atau dua, Air Condition (AC), dana, peraturan
, kwantitas sumber daya manusia, dan
lain lain adalah sumber daya yang tampak, sementara fikiran, ide, dan
gagasan-gagasan serta motivasi merupakan sumber daya yang tidak tampak dan
tidak kalah penting atau bahkan sama
pentingnya dengan sumber daya
yang tampak. Tugas pimpinan adalah mengelola, mengarahkan dan mengorganisir segenap
sumber daya tersebut agar dapat memberi kemanfaatan optimal bagi pencapaian tujuan organisasi. Banyak kita jumpai sejumlah
institusi yang memiliki sumber daya yang luar biasa hebatnya tapi
gagal mencapai tujuan organisasi secara
efisien karena ketidakmampuan pimpinan mengelola potensi sumber daya yang ada. Sumber
daya yang tampak sering tidak terdistribusi dengan baik dan kurang berkeadilan,
umumnya organisassi staf (sekretariat) lebih menikmati kemewahan, ruang kerja
yang lebih bagus dengan fasilitas ruangan lebih berkualitas, kendaraan 8
dinas
yang lebih mahal dibanding organisasi lini. Demikian juga dalam hal dana,
organisasi staf (sekretariat) menikmati besaran dana yang lebih dari organisasi
lini. Politik anggaran yang dijalankan kurang memperhatikan target dan sasaran yang
ingin dicapai lebih mengarah pada kegiatan yang sebenarnya tidak menjadi prioritas.
Kedua,
melakukan pembinaan, pengembangan, pengkaderan
(kaderisasi) calon pimpinan.
Sumber
daya manusia (staf) merupakan sumber daya yang tampak dan sekaligus tidak
tampak. Kuantitas sumber daya manusia
relatif dapat dihitung secara tepat besaran jumlah yang dibutuhkan akan tetapi motivasi, gagasan dan cita-cita
relatif sulit diperhitungkan secara akurat. Pembinaan dan pengembangan secara sistematis
terencana berkesinambungan terhadap sumber
daya yang tidak tampak ini dikalangan aparatur negara relatif sulit
ditemukan.Setelah diangkat menjadi pegawai, seseorang akan berkembang atau
tidak sangat tergantung pada dirinya sendiri. Jika ingin berkembang maka ia harus melanjutkan studi
sendiri, kursus sendiri dengan biaya sendiri dan memotivasi diri
sendiri. Jenjang karier tidak dapat dirunut secara sequensial tapi mengandalkan
keberuntungan, seseorang yang belum pernah menduduki eselon IV tetapi dapat
langsung menduduki eselon III atau sebaliknya seseorang yang berhak duduk di
eselon II karena secara teknis dan
administratif telah memenuhi segala persyaratan tetapi tetap pada eselon III
karena ketidakdekatan yang bersangkutan dengan yang memiliki
kewenangan menempatkan pegawai pada eselon tertentu. Kaderisasi pada
banyak institusi pemerintah tidak pernah terpikir secara serius apalagi
terencana secara sistematis, konsekwensi logisnya adalah tidak ada
kesinambungan karier staf. Tugas pimpinan
adalah membina dan mengembangkan
staf melalui penambahan keterampilan teknis, administratif,
manajerial
maupun motivasi, penempatan pada jenjang jabatan yang sesuai kemampuan dan
kepangkatan dimiliki.
Ketiga,
penegakan hukum /aturan secara adil.
Hukum/aturan
dibuat dalam rangka ketertiban umum/organisasi, jika hukum tidak diterapkan
sebagaimana mestinya maka dapat menimbulkan turunnya semangat (motivasi) kerja
karyawan dan yang disebut terakhir akan
berdampak pada penurunan kinerja organisasi secara keseluruhan. Penegakan
hukum/aturan secara adil dimaksudkan
bahwa dalam kondisi normal hukum/aturan harus dijadikan dasar dalam bertindak
dan berperilaku oleh semua orang dalam suatu institusi/organisasi. Pimpinan
institusi/organisasi harus berupaya menegakkan hukum/aturan dalam barbagai
aspek terutama pelaksanaan aspek keuangan dan personalia secara berkeadilan.
Ketidakmampuan pimpinan berlaku adil
dalam dua aspek ini dapat menurunkan moril atau
daya juang pegawai, bahkan dapat membuat pegawai menjadi frustasi karena
terkait dengan masa depan diri dan keluarganya. Memang dalam praktek penyelenggaraan
pemerintahan, penegakan hukum/aturan secara ketat dan konsisten tidak menjamin tercapainya tujuan bahkan dalam
banyak kasus malah menggagalkan pencapaian tujuan organisasi itu sendiri. Tidak
ada anggaran dalam Petunjuk Operasional Kegiatan (POK) untuk menjamu makan
minum tamu, atau untuk karangan bunga ucapan selamat 9 maupun duka cita, tetapi
tamu harus kita layani dan dalam batas tertentu ucapan selamat atau duka cita
disampaikan lewat surat kabar atau karangan bunga. Terdapat aturan danmekanisme yang jelas dalam pengadaan atau perbaikan barang kantor
tapi dalam kondisi tertentu yang sangat mendesak (misalnya atap gedung kantor
bocor besar karena hujan) perbaikan segera dilakukan dengan menunjuk langsung
pihak tertentu untuk memperbaikinya padahal menurut aturan
seharusnya
perbaikan dilakukan setelah tender karena besaran nilai dananya termasuk
kategori yang harus ditenderkan. Jika mekanisme aturan diterapkan maka perlu
waktu berbulan-bulan untuk memperbaiki atap kantor padahal tugas rutin kantor
tidak boleh terhenti.
Di
dalam komitmen juga terkandung kewajiban moral dan tanggung jawab serta
konsistensi. Kewajiban moral terkait pelaksanaan tugas utama, tanggung jawab
berkaitan dengan kewajiban menyampaikan laporan
ikhwal penyelenggaraan tugas utama
kepada pimpinan di atasnya dan
konsistensi berhubungan dengan penerapan peraturan perundang-undangan yang
melandasi pekerjaan yang diemban. Oleh karena itu komitmen pimpinan untuk melaksanakan
tugas utama yang dilandasi kewajiban moral, tanggung jawab dan konsistensi merupakan faktor penting bagi peningkatan
kinerja aparatur negara.
2.Kesiapan
individu
Keberhasilan
seseorang dalam pencapaian suatu tujuan
amat tergantung pada tingkat kesiapan bersangkutan dalam menyelesaikan suatu
pekerjaan. Tingkat kesiapan meliputi dua hal yaitu kemauan (motivasi) dan kemampuan (capability) yang dimiliki. Hal
mutlak yang diperlukan untuk mengerjakan suatu pekerjaan adalah adanya kemauan,
keinginan, atau motivasi untuk berbuat. Motivasi ditentukan banyak faktor
(lihat teori motivasi), namun secara garis besar motivasi kerja seseorang
disebabkan dua tuntutan kebutuhan yaitu kebutuhan physik dan non physik. Dalam
hal kinerja aparatur negara, budaya
organisasi, gaya kepemimpinan, kecocokan tugas, lingkungan kerja, penghasilan,
dan lain-lain merupakan faktor yang berpengaruh dalam menumbuhkan
kemauan (motivasi) kerja. Akan tetapi kemauan saja tidak cukup memadai bahkan
tidak dapat menyelesaikan masalah pekerjaan. Kemauan yang tinggi tanpa disertai
kemampuan/ keterampilan memadai tidak akan menjamin pencapaian hasil yang
optimal. Sebaliknya, memiliki kemampuan/ keterampilan yang setinggi apapun tanpa
diikuti kemauan berbuat juga akan berdampak pada tidak tercapainya tujuan
yang
dikehendaki.
Kemampuan
yang saya maksudkan disini kemampuan
intelektual, kemampuan teknis dan kemampuan sosial (kemampuan
berinteraksi secara beretika). Ketiga jenis kemampuan tersebut digunakan untuk
menyelesaikan tugas-tugas administrasi
internal maupun eksternal. Administrasi internal mencakup penggunaan
sumber daya, sarana dan teknologi yang diperlukan untuk menjalankan tugas pokok
dan fungsi. Sedang administrasi eksternal meliputi kegiatan-kegiatan dan proses
administrasi yang diperlukan untuk membentuk dan menggiatkan hubungan-hubungan dengan
institusi dan kelompok di luar pengendalian institusi tempat bekerja.
3.Team
work (kerjasama kelompok)
Membentuk
tim kerja tidaklah sulit dan dapat dilakukan oleh banyak orang yang berwenang
membuat tim kerja, akan tetapi membangun kerjasama tim adalah pekerjaan yang
tidak mudah dan hanya bisa dilakukan oleh sedikit orang. Meskipun membangun
kerjasama tim (kerjasama kelompok) bukan
pekerjaan mudah, namun dapat diupayakan melalui:
Pertama,
transparansi pengelolaan segenap sumber daya terutama dana. Kita fahami bahwa
aktivitas aparatur negara selalu dilengkapi dengan sarana/prasarana dan dana bagi pencapaian
tujuan yang telah ditetapkan. Ketidaktansparanan pimpinan dalam memanfaatkan segenap sumber daya
tersebut akan melemahkan semangat tim yang pada gilirannya dapat menurunkan
kinerja.
Kedua,
menghargai wewenang dan tanggung
jawab individu. Dalam tim kerja selalu ada pembagian tugas
pekerjaan kepada tiap anggota dan pada
tugas pekerjaan tersebut melekat kewenangan dan tanggung jawab. Makin
besar/luas lingkup tugas pekerjaan, makin besar/luas pula kewenangan dan
tanggung jawabnya. Dengan tidak
mengambil alih apalagi melangkahi kewenangan dan tanggung jawab sekecil apapun
yang dimiliki seseorang akan membantu menumbuhkan dan mengembangkan semangat
kerja dalam tim, dan yang disebut terakhir ini memberi peluang bagi peningkatan
kinerja.
Ketiga,
membangun dan mengembangkan etika administrasi. Etika menyangkut norma, moral,
bersumber dari budaya, agama, dan hukum
yang dijadikan pedoman dalam
berperilaku. Etika berkaitan dengan baik dan tidak baik, pantas dan tidak
pantas. Dewasa ini etika menjadi hal penting dalam administrasi publik karena
tugas pokok administrasi publik adalah melakukan pelayanan publik. Etika dapat
mendukung pencapaian tujuan melalui kerjasama tim akan tetapi dapat pula
menggagalkan tujuan jika pelayanan yang diberikan dilakukan secara tidak beretika.
Di dalam tim kerja pelanggaran terhadap etika yang tertuang dalam right rule of conduct atau profesional standards akan mengganggu kerjasama
tim. Implementasi etika dalam tim kerja
terwujud dalam bahasa dan perilaku yang santun , ramah, jujur, saling menghormati, komunikasi terbuka,
memiliki
integritas, dan lain-lain.
Ketiga
faktor penting di atas yaitu komitmen
pimpinan, kesiapan individu dan
kerjasama kelompok (team work)
adalah faktor internal yang berhubungan timbal balik. Komitmen pimpinan
berhubungan dengan (mempengaruhi) kesiapan individu dan kerjasama kelompok (team work), kesiapan individu dan kerjasama kelompok juga
berhubungan dengan (mempengaruhi) komitmen pimpinan.
Demikian
juga kesiapan individu dengan kerjasama kelompok memiliki hubungan
(pengaruh)
timbal balik. Satu faktor eksternal yang saya anggap penting adalah perlunya
dibentuk
Komisi
Aparatur Negara. Komisi Aparatur Negara ini memiliki tiga tugas khusus
yaitu:
Pertama,
mengawasi pimpinan suatu unit organisasi agar
dalam menjalankan tugas selalu berpedoman pada peraturan
perundang-undangan tentang kepegawaian yang berlaku; Kedua, menerima dan
memproses pengaduan aparatur negara yang
merasa dirugikan oleh kebijakan pimpinan dalam bidang kepegawaian terutama hal
mutasi dan promosi; Ketiga, memutus perselisihan kepegawaian antara pimpinan dan bawahan.
Dengan
demikian pembentukan komisi aparatur negara dimaksudkan untuk mengawal tegaknya peraturan perundang-undangan bidang
kepegawaian dan tegaknya etika administrasi
sehingga dapat mengurangi penyalahgunaan wewenang akibat diskresi
berlebihan yang pada gilirannya dapat
menumbuhkan komitmen pimpinan, memacu kesiapan individu dan
kerjasama kelompok bagi peningkatan kinerja aparatur negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar