Kamis, 20 Januari 2011

Korupsi dari Hobi jadi Profesi


Mengapa harus jadi koruptor?
Ada beberapa alasan mengapa hobi korupsi bisa menjadi profesi yang menjanjikan diantaranya?
1.      Potensi yang besar
Bagi para orang tua yang kebingungan memikirkan masa depan anak-anaknya tidak perlu khawatir, masih ada profesi yang betul-betul menjanjikan masa depan berlimpah harta. Menurut penelitian Indonesian Corruptions Watch (ICW) menduga kebocoran dana APBN akibat korupsi masih tinggi sekitar 30%. Kalau merujuk kepada angka tersebut, bisa dibayangkan betapa besarnya kekayaan Negara yang menjadi ladang menumpuk kekayaan para koruptor. Tinggal di hitung saja berapa besar APBN kita terus dikalikan 30%, hasinya? Pasti anda berkata Wow…potensial sekali.
2.      Sikap Mental
Unsur utamanya seseorang menjadi koruptor adalah mencakup dua hal yaitu mental dan moral manusianya sendiri dan kesempatan atau adanya peluang yang memungkinkan seseorang melakukan korupsi. Manusia Indonesia kurang sekali terdorong untuk mengeluarkan energi yang memadai guna memroses potensi menjadi kekuatan nyata. Manusia Indonesia yang gumampang dan bahkan lemah. Terpengaruh oleh kondisi Alam yang mengelilinginya yang murah dan mudah, Manusia Indonesia cenderung bersikap manja dan lekas puas, tanpa dorongan dalam dirinya untuk mewujudkan yang terbaik, menjalankan segala sesuatu asal jadi tanpa minat untuk menghasilkan kualitas dalam pekerjaan. Memang ada perkecualian dan ada Manusia Indonesia yang kuat kemauannya untuk berprestasi. Akan tetapi karena mereka merupakan perngecualian maka jumlahnya sedikit. Akibatnya mereka seolah tertekan oleh mayoritas yang lemah sikap mentalnya, bermental kuat dan bersikap tangguh cenderung dianggap menentang arus, bahkan lebih parahnya lagi mereka dikeluarkan dari kelompoknya. Bahkan dunia pendidikan pun yang diharapkan bisa memperbaiki sikap mental bangsa, ternyata masih bannyak bolong-bolongnya sehingga belum bisa mengangkat sikap mental bangsa ke arah yang lebih baik.
3.      Penegakan Hukum Masih Lemah
Penyebab korupsi yang sangat mendasar di Indonesia adalah faktor politik dan kekuasaan Sekitar 85% dari kasus-kasus korupsi yang terjadi di Indonesia ternyata dilakukan oleh para pemegang kekuasaan, terutama di lembaga pemerintahan (Eksekutif) dan lembaga Legislatif. Dengan modus yang dilakukan pun sangat beragam, mulai dari perjalanan dinas yang fiktif, penggelembungan dana APBN maupun cara-cara lainnya yang bertujuan untuk menguntungkan diri sendiri, kelompok maupun golongan, dengan menggunakan dan menyalahgunakan uang negara. Lemahnya fungsi kontrol / pengawasan yang dilakukan oleh beberapa lembaga, seperti BPKP serta Bawasda terhadap penggunaan keuangan negara oleh pejabat-pejabat publik (eksekutif dan legislatif) merupakan faktor penting yang menumbuhkembangkan budaya korupsi di berbagai daerah. Fungsi kontrol yang seharusnya dilaksanakan oleh lembaga legislatif pada kenyataannya acap kali tidak efektif, hal ini disebabkan karena lembaga legislatif itu sendiri yang sering kali terlibat dalam penyimpangan serta penyalahgunaan keuangan negara yang dilakukan oleh legislatif. Sebagai gambaran mari kita simak hasil survei Global Corruption Barometer, yang dilakukan di 62 negara, termasuk Indonesia. Survei itu melibatkan 62 ribu responden atau seribu responden di setiap negara. Survei itu menunjukkan DPR, peradilan (pengadilan dan kejaksaan), kepolisian, dan partai politik merupakan lembaga terkorup di Indonesia pada 2006. Lebih menyedihkan lagi, indeks korupsi DPR, peradilan dan polisi tahun ini justru meningkat dibanding tahun lalu. Bahkan, dalam skala 1-5, indeks korupsi peradilan melompat paling besar, dari 3,8 menjadi 4,2. Yang terjadi ialah DPR, peradilan (pengadilan dan kejaksaan), dan polisi seakan adu hebat korupsi. Indeks korupsi semua lembaga itu meningkat dan semuanya mencapai indeks 4,2. Hasil survei itu memperlihatkan paradoks yang menyedihkan. DPR yang seharusnya bertugas mengawasi eksekutif justru semakin korup. Demikian pula dengan pengadilan, kejaksaan, dan kepolisian, yang semestinya merupakan insan-insan penegak hukum, ternyata justru semakin menjadi sarang korupsi.

Melihat pakta-pakta tersebut tidaklah berlebihan kalau dikatakan hobi korupsi masih menjanjikan, bukan begitu? Tinggal kita jalani, terbukalah masa depan berlimpah harta. Caranya? Pikirkan sendiri, masa harus di kasih tau juga, kebangetan.