Beurit jaman Baheula
"Leuit"
Leuit adalah satu kata dalam bahasa Sunda yang dewasa ini sudah jarang dipakai; di perdesaan sekalipun. Tidak heran bila banyak orang Sunda saat ini tidak tahu arti kata itu.
Leuit adalah tempat menyimpan padi. Berupa bangunan tersendiri; biasanya panggung, atau ruang khusus. Padi yang disimpan di leuit dialokasikan untuk cadangan jangka lama. Setidaknya sebagai cadangan hingga musim panen berikutnya. Leuit bukan tempat menyimpan beras. Yang ini mah disebut pabeasan. Ukuran pabeasan biasanya jauh lebih kecil dan berfungsi untuk menyimpan beras bagi keperluan harian.
Kepemilikan leuit dari ukuran, jumlah, maupun isinya kerap dijadikan ukuran status kemapanan ekonomi orang Sunda zaman dulu. Leuit juga lambang investasi. Padi yang disimpan di leuit biasanya berupa gabah kering agar tahan lama. Baik gabah curah atau dalam bentuk padi gedeng, yaitu padi kering yang dipanen berikut batang malainya. Tujuannya untuk memudahkan pengangkutan dan penyimpanan. Setelah kering, batang malai tadi berfungsi untuk memudahkan pengikatan. Satu ikat padi kering disebut pocong. Dua pocong yang diikat jadi satu ikatan lebih besar disebut gedeng. Lima gedeng padi disebut sangga. Itulah urutan perhitungan padi menurut ikatan pada zaman dulu. Boleh jadi, istilah ini berbeda di satu daerah dengan daerah lainnya.
Menyimpan padi dalam bentuk ikatan pocongan atau gedengan ini membutuhkan ruangan lebih besar dan khusus. Itulah leuit. Bila tempat penyimpanan itu berupa batang bambu, dan padi gedengan digantungkan di batang bambu tadi, keseluruhan batang bambu penyimpanan padi itu disebut lantayan. Lantayan kerap juga difungsikan sebagai tempat menjemur padi baru dipanen yang diikat dalam bentuk bondot.
Berkaitan dengan perpaduan kata leuit dengan tingkat kemapanan seseorang, muncul ungkapan buncir leuit loba duit (leuit penuh, banyak duit). Buncir bisa diartikan gemuk, penuh atau padat berisi, atau ungkapan untuk menunjukkan tingkat kekayaan yang tidak terukur, seperti leuitna salawe jajar (leuit/gudang padinya 25 jejer). Maknanya tiada lain, betapa kepemilikan leuit pada zaman dulu benar-benar menjadi standar ukur status ekonomi bahkan sosial seseorang atau suatu keluarga. Sekarang, orang Sunda pun sudah jarang yang punya leuit, juga pabeasan. Fungsi leuit maupun pabeasan diambil alih warung atau kios. Gabah maupun beras cadangan tidak lagi tersimpan di rumah, melainkan di warung.
Kalau Anda berkunjung ke Kota Baru Parahyangan (KBP), esensi maupun eksistensi leuit masih dipakai. Namanya diubah agar lebih komunikatif menjadi Bale Pare (bale = balai atau bangunan; pare = padi). Eksistensinya, gudang beratap ijuk, punya pintu tidak punya jendela, dan terdapat di bagian atas bangunan induk pusat perkantoran KBP. Tidak lagi dipakai menyimpan padi, sebab lebih berfungsi sebagai simbol saja.
Nama Bale Pare diambil KBP, menandai pemakaian istilah Sunda pada hampir semua blok di kompleks tersebut. Seperti Tatar Wangsakerta, Tatar Pitaloka, Larangtapa, Ratnaningsih, dan lain-lain. Hal itu sekaligus mengambil makna luas dari leuit yang sejatinya merupakan wahana investasi jangka panjang.
Bahkan dalam konotasi yang lebih luasnya leuit dapat diartikan sebagai lembaga perbankan, dan apakah ada jaminan keamanan dan kenyamanan dari pihak yang berwenang atau lembaga perbankan itu sendiri, sebagai masyarakat yang “nyanghulu ka hukum, nyanghunjar ka nagara, mufakat ka balarea.
“LEUIT digorogot BEURIT”
Hari-hari ini perasaan nasabah bank gundah gulana. Muncul berita sejumlah nasabah di beberapa bank melaporkan uang tabungannya lenyap setelah melakukan transaksi ATM (Jawa Pos, Kamis, 21/1).
Sebetulnya, berita pembobolan ATM bukanlah berita baru. Namun, setelah Bank Indonesia (BI) mengumumkan ada dana Rp 5 miliar dari sekitar 200 rekening nasabah yang lenyap, semua tersentak. Apalagi bank tempat para penabung malang itu menyimpan uangnya bukanlah bank ecek-ecek, tapi bank papan atas, yakni BCA, Bank Mandiri, BNI, BRI, Bank Permata, dan Bank Internasional Indonesia (BII).
Keresahan semakin luas ketika daftar tempat kejadian pembobolan pun terus bertambah. Jika di awal kasus ATM yang dibobol hanya ada di Bali, dari hari ke hari laporan terus bermunculan di kota-kota lain seperti Jakarta , Bandung , Makassar, dan Lombok . Bahkan, kabar terakhir ada nasabah di Australia yang lapor saldonya menyusut, padahal tidak melakukan transaksi.
Setiap nasabah bank pemegang kartu ATM di negeri ini jadi cemas dan bertanya-tanya, apakah jumlah simpanan dananya masih utuh atau sudah dicuri? Karena itu, dalam tiga hari terakhir ini, terjadi antrean di banyak ATM. Lebih banyak yang sekadar ingin memeriksa saldo simpanannya daripada yang melakukan transaksi lain.
Ulah pembobol ATM bukan hanya membuat meradang para nasabah, tetapi juga memicu dampak negatif di perdagangan bursa saham domestik. Sejumlah saham perbankan, terutama yang kena bobol, menekan keras indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada perdagangan tiga hari terakhir. Hal itu menunjukkan bahwa kejahatan membobol ATM berpotensi besar mengancam stabilitas ekonomi.
Seorang kolega banker berkomentar, inilah kasus pembobolan bank terbesar di negeri ini. Jika dampak sistemik bailout Bank Century masih diperdebatkan di DPR, dampak sistemik yang ditimbulkan pembobolan ATM langsung terlihat di mata dan terasa di hati. Dampak langsung memang masih Rp 5 miliar. Namun, dampak tidak langsung seperti anjloknya kepercayaan terhadap institusi perbankan nasional sehingga memicu peralihan dana nasabah ke bank-bank asing yang menjanjikan keamanan dana lebih terjamin bisa memicu kerugian jauh di atas dana Rp 6,7 triliun (nilai bailout Century yang hingga kini masih diperdebatkan apakah bisa disebut kerugian).
Seorang kolega banker berkomentar, inilah kasus pembobolan bank terbesar di negeri ini. Jika dampak sistemik bailout Bank Century masih diperdebatkan di DPR, dampak sistemik yang ditimbulkan pembobolan ATM langsung terlihat di mata dan terasa di hati. Dampak langsung memang masih Rp 5 miliar. Namun, dampak tidak langsung seperti anjloknya kepercayaan terhadap institusi perbankan nasional sehingga memicu peralihan dana nasabah ke bank-bank asing yang menjanjikan keamanan dana lebih terjamin bisa memicu kerugian jauh di atas dana Rp 6,7 triliun (nilai bailout Century yang hingga kini masih diperdebatkan apakah bisa disebut kerugian).
Pembobolan ATM di enam bank papan atas adalah sebuah tamparan keras buat kredibilitas perbankan nasional. Salah satu “hak asasi” nasabah, yakni mendapat keamanan dan kenyamanan bertransaksi di ATM, telah dilanggar. Padahal, untuk keamanan dan kenyamanan itu, nasabah juga bersedia membayar ke bank. Jadi, tidak ada lagi alasan bagi kalangan perbankan untuk menolak standardisasi kartu chip. Sebab, kartu magnetik terbukti demikian mudah dibajak pembobol. Selain itu, yang paling penting, bank harus mengganti semua dana nasabah yang hilang tanpa syarat. Verifikasi memang perlu. Tapi, jika polisi bisa membuktikan bahwa dana-dana tersebut memang hilang, jangan-jangan tunda pemberian ganti rugi.
Memang, di satu sisi, upaya-upaya itu akan menimbulkan biaya yang tidak kecil. Tetapi, pilih mana: dijauhi nasabah atau mengeluarkan dana tambahan agar nasabah tidak ngacir? Toh, jika mengacu pada laba terakhir perbankan (per Oktober 2009) sebesar Rp 51,86 triliun (tertinggi dalam lima tahun terakhir), apalah arti uang miliaran rupiah untuk standardisasi kartu chip dan dana pengganti bagi nasabah yang selama ini selalu rela “mendonorkan darah” bagi mereka.
Atau, kalau perbankan masih belum berubah juga, meskipun dampak sistemik sudah demikian kasat mata, tidak ada salah kita desak wakil rakyat kita agar membentuk pansus bagi pengelola enam bank papan atas itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar