Jumat, 19 Februari 2010

"LEUIT"

Leuit Baheula
Beurit jaman Baheula

Leuit Urang Sunda Jaman Kiwari
Beurit jaman kiwari

"Leuit"

Leuit adalah satu kata dalam bahasa Sunda yang dewasa ini sudah jarang dipakai; di perdesaan sekalipun. Tidak heran bila banyak orang Sunda saat ini tidak tahu arti kata itu.
Leuit adalah tempat menyimpan padi. Berupa bangunan tersendiri; biasanya panggung, atau ruang khusus. Padi yang disimpan di leuit dialokasikan untuk cadangan jangka lama. Setidaknya sebagai cadangan hingga musim panen berikutnya. Leuit bukan tempat menyimpan beras. Yang ini mah disebut pabeasan. Ukuran pabeasan biasanya jauh lebih kecil dan berfungsi untuk menyimpan beras bagi keperluan harian.
Kepemilikan leuit dari ukuran, jumlah, maupun isinya kerap dijadikan ukuran status kemapanan ekonomi orang Sunda zaman dulu. Leuit juga lambang investasi. Padi yang disimpan di leuit biasanya berupa gabah kering agar tahan lama. Baik gabah curah atau dalam bentuk padi gedeng, yaitu padi kering yang dipanen berikut batang malainya. Tujuannya untuk memudahkan pengangkutan dan penyimpanan. Setelah kering, batang malai tadi berfungsi untuk memudahkan pengikatan. Satu ikat padi kering disebut pocong. Dua pocong yang diikat jadi satu ikatan lebih besar disebut gedeng. Lima gedeng padi disebut sangga. Itulah urutan perhitungan padi menurut ikatan pada zaman dulu. Boleh jadi, istilah ini berbeda di satu daerah dengan daerah lainnya.
Menyimpan padi dalam bentuk ikatan pocongan atau gedengan ini membutuhkan ruangan lebih besar dan khusus. Itulah leuit. Bila tempat penyimpanan itu berupa batang bambu, dan padi gedengan digantungkan di batang bambu tadi, keseluruhan batang bambu penyimpanan padi itu disebut lantayan. Lantayan kerap juga difungsikan sebagai tempat menjemur padi baru dipanen yang diikat dalam bentuk bondot.
Berkaitan dengan perpaduan kata leuit dengan tingkat kemapanan seseorang, muncul ungkapan buncir leuit loba duit (leuit penuh, banyak duit). Buncir bisa diartikan gemuk, penuh atau padat berisi, atau ungkapan untuk menunjukkan tingkat kekayaan yang tidak terukur, seperti leuitna salawe jajar (leuit/gudang padinya 25 jejer). Maknanya tiada lain, betapa kepemilikan leuit pada zaman dulu benar-benar menjadi standar ukur status ekonomi bahkan sosial seseorang atau suatu keluarga. Sekarang, orang Sunda pun sudah jarang yang punya leuit, juga pabeasan. Fungsi leuit maupun pabeasan diambil alih warung atau kios. Gabah maupun beras cadangan tidak lagi tersimpan di rumah, melainkan di warung.
Kalau Anda berkunjung ke Kota Baru Parahyangan (KBP), esensi maupun eksistensi leuit masih dipakai. Namanya diubah agar lebih komunikatif menjadi Bale Pare (bale = balai atau bangunan; pare = padi). Eksistensinya, gudang beratap ijuk, punya pintu tidak punya jendela, dan terdapat di bagian atas bangunan induk pusat perkantoran KBP. Tidak lagi dipakai menyimpan padi, sebab lebih berfungsi sebagai simbol saja.
Nama Bale Pare diambil KBP, menandai pemakaian istilah Sunda pada hampir semua blok di kompleks tersebut. Seperti Tatar Wangsakerta, Tatar Pitaloka, Larangtapa, Ratnaningsih, dan lain-lain. Hal itu sekaligus mengambil makna luas dari leuit yang sejatinya merupakan wahana investasi jangka panjang.
Bahkan dalam konotasi yang lebih luasnya leuit dapat diartikan sebagai lembaga perbankan, dan apakah ada jaminan keamanan dan kenyamanan dari pihak yang berwenang atau lembaga perbankan itu sendiri, sebagai masyarakat yang “nyanghulu ka hukum, nyanghunjar ka nagara, mufakat ka balarea.
“LEUIT digorogot BEURIT”
Hari-hari ini perasaan nasabah bank gundah gulana. Muncul berita sejumlah nasabah di beberapa bank melaporkan uang tabungannya lenyap setelah melakukan transaksi ATM (Jawa Pos, Kamis, 21/1).
Sebetulnya, berita pembobolan ATM bukanlah berita baru. Namun, setelah Bank Indonesia (BI) mengumumkan ada dana Rp 5 miliar dari sekitar 200 rekening nasabah yang lenyap, semua tersentak. Apalagi bank tempat para penabung malang itu menyimpan uangnya bukanlah bank ecek-ecek, tapi bank papan atas, yakni BCA, Bank Mandiri, BNI, BRI, Bank Permata, dan Bank Internasional Indonesia (BII).
Keresahan semakin luas ketika daftar tempat kejadian pembobolan pun terus bertambah. Jika di awal kasus ATM yang dibobol hanya ada di Bali, dari hari ke hari laporan terus bermunculan di kota-kota lain seperti Jakarta, Bandung, Makassar, dan Lombok. Bahkan, kabar terakhir ada nasabah di Australia yang lapor saldonya menyusut, padahal tidak melakukan transaksi.
Setiap nasabah bank pemegang kartu ATM di negeri ini jadi cemas dan bertanya-tanya, apakah jumlah simpanan dananya masih utuh atau sudah dicuri? Karena itu, dalam tiga hari terakhir ini, terjadi antrean di banyak ATM. Lebih banyak yang sekadar ingin memeriksa saldo simpanannya daripada yang melakukan transaksi lain.
Ulah pembobol ATM bukan hanya membuat meradang para nasabah, tetapi juga memicu dampak negatif di perdagangan bursa saham domestik. Sejumlah saham perbankan, terutama yang kena bobol, menekan keras indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada perdagangan tiga hari terakhir. Hal itu menunjukkan bahwa kejahatan membobol ATM berpotensi besar mengancam stabilitas ekonomi.
Seorang kolega banker berkomentar, inilah kasus pembobolan bank terbesar di negeri ini. Jika dampak sistemik bailout Bank Century masih diperdebatkan di DPR, dampak sistemik yang ditimbulkan pembobolan ATM langsung terlihat di mata dan terasa di hati. Dampak langsung memang masih Rp 5 miliar. Namun, dampak tidak langsung seperti anjloknya kepercayaan terhadap institusi perbankan nasional sehingga memicu peralihan dana nasabah ke bank-bank asing yang menjanjikan keamanan dana lebih terjamin bisa memicu kerugian jauh di atas dana Rp 6,7 triliun (nilai bailout Century yang hingga kini masih diperdebatkan apakah bisa disebut kerugian).
Pembobolan ATM di enam bank papan atas adalah sebuah tamparan keras buat kredibilitas perbankan nasional. Salah satu “hak asasi” nasabah, yakni mendapat keamanan dan kenyamanan bertransaksi di ATM, telah dilanggar. Padahal, untuk keamanan dan kenyamanan itu, nasabah juga bersedia membayar ke bank. Jadi, tidak ada lagi alasan bagi kalangan perbankan untuk menolak standardisasi kartu chip. Sebab, kartu magnetik terbukti demikian mudah dibajak pembobol. Selain itu, yang paling penting, bank harus mengganti semua dana nasabah yang hilang tanpa syarat. Verifikasi memang perlu. Tapi, jika polisi bisa membuktikan bahwa dana-dana tersebut memang hilang, jangan-jangan tunda pemberian ganti rugi.
Memang, di satu sisi, upaya-upaya itu akan menimbulkan biaya yang tidak kecil. Tetapi, pilih mana: dijauhi nasabah atau mengeluarkan dana tambahan agar nasabah tidak ngacir? Toh, jika mengacu pada laba terakhir perbankan (per Oktober 2009) sebesar Rp 51,86 triliun (tertinggi dalam lima tahun terakhir), apalah arti uang miliaran rupiah untuk standardisasi kartu chip dan dana pengganti bagi nasabah yang selama ini selalu rela “mendonorkan darah” bagi mereka.
Atau, kalau perbankan masih belum berubah juga, meskipun dampak sistemik sudah demikian kasat mata, tidak ada salah kita desak wakil rakyat kita agar membentuk pansus bagi pengelola enam bank papan atas itu.

Sabtu, 13 Februari 2010

KAMPUNG KUTA





Kampung Kuta terletak di Desa Karangpaningal, Kecamatan Tambaksari, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Hingga sekarang penduduk kampung yang dikelilingi bukit dan tebing tinggi dan berjarak sekitar 45 kilometer dari Ciamis ini dikenal sangat menghormati warisan leluhurnya. Adat dan tradisi menjadi salah satu peninggalan leluhur yang tak boleh dilanggar.

Kampung ini dikatagorikan sebagai kampung adat, karena mempunyai kesamaan dalam bentuk dan bahan fisik bangunan rumah, adanya ketua adat, dan adanya adat istiadat yang mengikat masyarakatnya. Salah satu warisan ajaran leluhur yang mesti dipatuhi masyarakat Kuta adalah pembangunan rumah. Bila dilanggar, warga Kuta berkeyakinan, musibah atau marabahaya bakal melanda kampung mereka. Aturan adat menyebutkan rumah harus berbentuk panggung dengan ukuran persegi panjang. Atap rumah pun harus dari bahan rumbia atau ijuk. Begitu pula pembangunan rumah yang mensyaratkan tidak boleh menggunakan bahan semen, melainkan hanya memakai bahan dari kayu dan bamboo. Kendati sederhana, model bangunan seperti itu memang dapat melindungi penghuninya dari berbagai macam gangguan, seperti binatang buas. Bahkan kalau dilihat dari bentuknya, rumah panggung yang terbuat dari bambu dan kayu itu tahan dari guncangan gempa. Apalagi, belakangan ini, sejumlah daerah di Tanah Air kerap dilanda gempa tektonik maupun vulkanik.

Kampung Kuta merupakan masyarakat adat yang masih teguh memegang dan menjalankan tradisi dengan pengawasan kuncen dan ketua adat. Kepercayaan terhadap larangan dan adanya mahluk halus atau kekuatan gaib masih tampak pada pandangan mereka terhadap tempat keramat berupa hutan keramat. Hutan keramat tersebut sering didatangi oleh orang-orang yang ingin mendapatkan keselamatan dan kebahagiaan hidup. Hanya saja, di hutan keramat tersebut tidak boleh meminta sesuatu yang menunjukkan ketamakan seperti kekayaan. Untuk memasuki wilayah hutan keramat tersebut diberlakukan sejumlah larangan, yakni larangan memanfaatkan dan merusak sumber hutan, memakai baju dinas, memakai perhiasan emas, memakai baju hitam-hitam, membawa tas, memakai alas kaki, meludah, dan berbuat gaduh. Bahkan untuk memasuki Hutan Keramat ini pun tidak boleh memakai alas kaki, Tujuannya agar hutan tersebut tidak tercemar dan tetap lestari. Oleh karena itu, kayu-kayu besar masih terlihat kokoh di Leuweung Gede. Selain itu, sumber air masih terjaga dengan baik. Di pinggir hutan banyak mata air yang bersih dan sering digunakan untuk mencuci muka.

Mayarakat Kampung Kuta mengenal hutan karamat. Dipandang dari sudut etimologis, Kampung Kuta berarti kampung atau dusun yang dikelilingi "kuta" atau penghalang berupa tebing. Menurut cerita yang beredar pada masyarakat setempat, dahutu kala tebing itu berfungsi sebagai penghalang serangan musuh dari luar, ketika Kampung Kuta akan dijadikan sebuah kerajaan oleh Prabu Ajar Sukaresi. Kisah tentang sepak terjang sang Prabu yang menjadi penguasa di Kampung Kuta sangat berpengaruh kepada warganya di kemudian hari. Sikap sang Prabu yang peduli pada lingkungan itu diteruskan kemudian oleh Ki Bumi yaitu seorang utusan Kerajaan Cirebon yang ditugaskan untuk membantu masyarakat Kampung Kuta menjaga wilayah peninggalan Prabu Ajar Sukaresi. Konon, semula Prabu Ajar Sukaresi bermaksud membangun istana di wilayah tersebut, akan tetapi batal karena lokasi yang ditetapkan berada di tengah-tengah perbukitan. Sementara itu bahan-bahan material yang berupa kayu, semen, batu dan bata bahkan besi sudah terkumpul hingga akhirnya tertimbun tanah dan berubah menjadi sebuah bukit kecil. Kini lokasi tersebut berubah menjadi hutan yang dipercaya warga setempat sangat keramat. (Kusumah dalam Purba, 2003: 766-767).

Kawasan hutan keramat boleh dikunjungi oleh orang-orang yang bermaksud mencapai keselamatan, ketenangan hati, kehamonisan rumah tangga, selain meminta harta kekayaan atau maksud-maksud lain dengan meminta bantuan “kuncen” sebagai pemangku adat yang dipercaya mampu berhubungan dengan leluhur yang tinggal di hutan keramat. Kuncen dianggap sebagai penjaga hutan keramat, dan dapat menjadi penghubung antara penunggu hutan keramat dengan orang-orang yang mempunyai maksud. Di wilayah hutan itu ditabukan untuk menyelenggarakan kegiatan duniawi dan dilarang untuk memanfaatkan segala sumber daya dari hutan. Segala sesuatu dibiarkan secara alami, masyarakat dilarang menebang pohon bahkan memungut ranting pun tidak diperkenankan. Jika melanggar tabu atau larangan itu, maka orang tersebut akan mendapatkan sanksi berupa malapetaka.

Larangan-larangan lain yang berlaku di luar wilayah hutan keramat tapi masih termasuk wilayah Kampung Kuta pun wajib dipatuhi, seperti larangan membangun rumah dengan atap genting, larangan mengubur jenazah di Kampung Kuta, larangan memperlihatkan hal-hal yang bersifat memamerkan kekayaan yang bisa menimbulkan persaingan, larangan mementaskan kesenian yang mengandung lakon dan cerita, misalnya wayang. Larangan-larangan tersebut apabila dilanggar diyakini oleh masyarakat akan menyebabkan celaka bagi mereka yang melanggarnya. Norma adat dan agama memiliki intensitas dan “kekuatan” yang seimbang sebagai pedoman dalam melangsungkan kehidupan secara keseluruhan.

Keunikan lainnya, warga Kampung Kuta sangat dilarang membuat sumur. Air untuk keperluan sehari-hari harus diambil dari mata air. Larangan para leluhur mungkin ada benarnya. Ini lantaran kondisi tanah yang labil di kampung ini dikhawatirkan dapat merusak kontur tanah. Terutama membuat sumur dengan cara menggali atau mengebor tanah.

Kedekatan masyarakat kampung adapt dengan alam tidak hanya itu saja setiap tahunnya masyarakat kampung Kuta mengadakan Upacara Adat nyuguh. Upacara Adat Nyuguh ini merupakan suatu upacara ritual tradisional Adat Kampung Kuta Kec. Tambaksari Kabupaten Ciamis yang selalu dilaksanakan pada tanggal 25 shapar pada setiap tahunnya. Upacara ini bertujuan sebagai persembahan bentuk syukur kepada Tuhan dan bumi yang telah memberikan pangan bagi masyarakat kampung Kuta.

Kampung adat ini dihuni masyarakat yang hidup dilandasi kearifan lokal. Dengan memegang teguh budaya, pelestarian lingkungan di kampung ini bisa menjadi contoh bagi kita semua untuk tetap menjaga kelestarian lingkungan dengan berpegang teguh kepada budaya lokal. Leuweung ruksak, Cai Beak, Anak Incu Balangsak. Cag......

Mustafid

Blog: http://mustafidwongbodo.blogspot.com/

Selasa, 09 Februari 2010

Ronggeng Gunung


Asal-usul

Ciamis adalah suatu daerah yang ada di Jawa Barat. Di sana ada tarian khas yang bernama “Ronggeng Gunung”. Ronggeng Gunung sebenarnya masih dalam koridor terminologi ronggeng secara umum, yakni sebuah bentuk kesenian tradisional dengan tampilan seorang atau lebih penari. Biasanya dilengkapi dengan gamelan dan nyanyian atau kawih pengiring. Penari utamanya adalah seorang perempuan yang dilengkapi dengan sebuah selendang. Fungsi selendang, selain untuk kelengkapan dalam menari, juga dapat digunakan untuk "menggaet" lawan (biasanya laki-laki) untuk menari bersama dengan cara mengalungkan ke lehernya.


Ada beberapa versi tentang asal-usul tarian yang tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat Ciamis Selatan (masyarakat: Panyutran, Ciparakan, Burujul, Pangandaran dan Cijulang) ini. Versi pertama mengatakan bahwa Ronggeng Gunung diciptakan oleh Raden Sawunggaling. Konon, ketika kerajaan Galuh dalam keadaan kacau-balau karena serangan musuh, Sang Raja terpaksa mengungsi ke tempat yang aman dari kejaran musuh. Dalam situasi yang demikian, datanglah seorang penyelamat yang bernama Raden Sawunggaling. Sebagai ungkapan terima kasih atas jasanya yang demikian besar itu, Sang Raja menikahkan Sang Penyelamat itu dengan putrinya (Putri Galuh). Kemudian, ketika Raden Sawunggaling memegang tampuk pemerintahan, beliau menciptakan tarian yang bernama Ronggeng Gunung sebagai sarana hiburan resmi di istana. Penarinya diseleksi ketat oleh raja dan harus betul-betul mempunyai kemampuan menari, menyanyi, dan berparas cantik, sehingga ketika itu penari ronggeng mempunyai status terpandang di lingkungan masyarakat.


Versi kedua berkisah tentang seorang puteri yang ditinggal mati oleh kekasihnya. Siang dan malam sang puteri meratapi terus kematian orang yang dicintainya. Selagi sang puteri menangisi jenasah kekasihnya yang sudah mulai membusuk, datanglah beberapa pemuda menghampirinya dengan maksud untuk menghiburnya. Para pemuda tersebut menari mengelilingi sang puteri sambil menutup hidung karena bau busuk mayat. Lama-kelamaan, sang puteri pun akhirnya ikut menari dan menyanyi dengan nada melankolis. Adegan-adegan tersebut banyak yang menjadi dasar dalam gerakan-gerakan pada pementasan Ronggeng Gunung saat ini.


Versi ketiga yang ditulis oleh Yanti Heriyawati dalam tesisnya yang berjudul “Doger dan Ronggeng, Dua Wajah Tari Perempuan di Jawa Barat”. Versi ini menyatakan bahwa kesenian Ronggeng Gunung berkait erat dengan kisah Dewi Samboja (www.korantempo.com). Dewi Samboja adalah puteri ke-38 dari Prabu Siliwangi yang bersuamikan Angkalarang. Konon, suatu saat suami sang Dewi yaitu Angkalarang mati terbunuh oleh Kalasamudra (pemimpin bajak laut dari seberang lautan). Dewi Samboja sangat bersedih hatinya karena suami yang dicintainya telah meninggal dunia dan ia sangat marah kepada Kalasamudra yang telah membunuh suaminya. Untuk menghilangkan kesedihan dan sekaligus kemarahan puterinya atas kematian Angkalarang, maka ayahandanya, yaitu Prabu Siliwangi memberikan wangsit kepada Dewi Samboja. Isi wangsit tersebut adalah bahwa untuk dapat membalas kematian Angkalarang dan membunuh Kalasamudra, Dewi Samboja harus menyamar sebagai Nini Bogem, yaitu sebagai seorang penari ronggeng kembang. Dan, berdasar wangsit itulah, Dewi Samboja mulai belajar menari ronggeng dan seni bela diri. Singkat cerita, pergelaran ronggeng di tempat Kalasamudra pun terjadi. Dan, ini berarti kesempatan bagi Dewi Samboja untuk membalas kematian suaminya. Konon, ketika sempat menari bersamanya, Dewi Samboja mewujudkan niatnya, sehingga perkelahian pun tidak dapat dihindari. Perkelahian itu baru berakhir ketika Dewi Samboja dapat membunuhnya.


Versi keempat mirip dengan versi ketiga, hanya jalan ceritanya yang berbeda. Dalam versi ini perkawinan antara Dewi Siti Samboja dan Raden Anggalarang, putra Prabu Haur Kuning dari Kerajaan Galuh, tidak. direstui oleh ayahnya. Untuk itu, pasangan suami-isteri tersebut mendirikan kerajaan di Pananjung, yaitu daerah yang kini merupakan Cagar Alam Pananjung di obyek wisata Pangandaran. Suatu saat kerajaan tersebut diserang oleh para perompak yang dipimpin oleh Kalasamudra, sehingga terjadi pertempuran. Namun, karena pertempuran tidak seimbang, akhirnya Raden Anggalarang gugur. Akan tetapi, istrinya, Dewi Siti Samboja, berhasil menyelamatkan diri.dan mengembara. Dalam pengembaraannya yang penuh dengan penderitaan, sang Dewi akhirnya menerima wangsit agar namanya diganti menjadi Dewi Rengganis dan menyamar sebagai ronggeng. Di tengah kepedihan hatinya yang tidak terperikan karena ditinggal suaminya, Dewi Rengganis berkelana dari satu tempat ke tempat lainnya. Tanpa terasa, gunung-gunung telah didaki dan lembah-lembah dituruni. Namun, di matanya masih terbayang bagaimana orang yang dijadikan tumpuan hidupnya telah dibunuh para perompak dan kemudian mayatnya diarak lalu dibuang ke Samudera Hindia. Kepedihan itu diungkapkan dalam lagu yang berjudul “Manangis”. Berikut ini adalah syairnya.


Ka mana boboko suling

Teu kadeuleu-deuleu deui

Ka mana kabogoh kuring

Teu Kadeulu datang deui


Singkat cerita, pergelaran ronggeng akhirnya sampai di tempat Kalasamudra dan Dewi Samboja dapat membalas kematian suaminya dengan membunuh Kalasamudra ketika sedang menari bersama.


Cerita mengenai asal usul tari yang digunakan untuk “balas dendam” ini membuat Ronggeng Gunung seakan berbau maut. Konon, dahulu orang-orang Galuh yang ikut menari menutup wajahnya dengan kain sarung sambil memancing musuhnya untuk ikut hanyut dalam tarian. Oleh karena wajah mereka tertutup sarung, maka ketika musuh mereka terpancing dan ikut ke tengah lingkaran, sebilah pisau mengintip menunggu saat yang tepat untuk ditikamkan. Selain itu, dahulu kesenian Ronggeng Gunung bagi masyarakat Ciamis selatan, bukan hanya merupakan sarana hiburan semata, tetapi juga digunakan sebagai pengantar upacara adat seperti: panen raya, perkawinan, khitanan, dan penerimaan tamu. Mengingat fungsinya yang demikian, maka sebelum pertunjukan dimulai, diadakan sesajen untuk persembahan kepada para leluhur dan roh-roh yang ada di sekitar tempat digelarnya tarian, agar pertunjukan berjalan dengan lancar. Bentuk sesajennya terdiri atas kue-kue kering tujuh macam dan tujuh warna, pisang emas, sebuah cermin, sisir, dan sering pula ditemukan rokok sebagai pelengkap sesaji.


Sebagai catatan, dalam mitologi orang Sunda, Dewi Samboja atau Dewi Rengganis hampir mirip dengan Dewi Sri Pohaci yang selalu dikaitkan dengan kegiatan bertani. Oleh karena itu, tarian Ronggeng Gunung juga melambangkan kegiatan Sang Dewi dalam bercocok tanam, mulai dari turun ke sawah, menanam padi, memanen, sampai akhirnya syukuran setelah panen.


Pemain, Peralatan, dan Pergelaran.

Orang-orang yang tergabung dalam kelompok kesenian Ronggeng Gunung biasanya terdiri dari enam sampai sepuluh orang. Namun demikian, dapat pula terjadi tukar-menukar atau meminjam pemain dari kelompok lain. Biasanya peminjaman pemain terjadi untuk memperoleh pesinden lalugu, yaitu perempuan yang sudah berumur agak lanjut, tetapi mempunyai kemampuan yang sangat mengagumkan dalam hal tarik suara. Dia bertugas membawakan lagu-lagu tertentu yang tidak dapat dibawakan oleh pesinden biasa. Sedangkan, peralatan musik yang digunakan untuk mengiringi tari Ronggeng Gunung adalah tiga buah ketuk, gong dan kendang.


Sebagai catatan, untuk menjadi seorang ronggeng pada zaman dahulu memang tidak semudah sekarang. Beberapa syarat yang harus dipenuhi antara lain bentuk badan bagus, dapat melakukan puasa 40 hari yang setiap berbuka puasa hanya diperkenankan makan pisang raja dua buah, latihan nafas untuk memperbaiki suara, fisik dan juga rohani yang dibimbing oleh ahlinya. Dan, yang umum berlaku, seorang ronggeng harus tidak terikat perkawinan. Oleh karena itu, seorang penari ronggeng harus seorang gadis atau janda.


Tari Ronggeng Gunung bisa digelar di halaman rumah pada saat ada acara perkawinan, khitanan atau bahkan di huma (ladang), misalnya ketika dibutuhkan untuk upacara membajak atau menanam padi ladang. Durasi sebuah pementasan Ronggeng Gunung biasanya memakan waktu cukup lama, kadang-kadang baru selesai menjelang subuh.


Perkembangan
Perkembangan Ronggeng Gunung pada periode tahun 1904 sampai tahun 1945, banyak terjadi pergeseran nilai dalam penyajiannya, misalnya dalam cara menghormat yang semula dengan merapatkan tangan di dada berganti dengan cara bersalaman. Bahkan, akhirnya cara bersalaman ini banyak disalahgunakan, dimana penari laki-laki atau orang-orang tertentu bukan hanya bersalaman melainkan bertindak lebih jauh lagi seperti mencium, meraba dan sebagainya. Bahkan, kadang-kadang penari dapat dibawa ke tempat sepi. Karena tidak sesuai dengan adat-istiadat, maka pada tahun 1948 kesenian Ronggeng Gunung dilarang dipertunjukkan untuk umum. Baru pada tahun 1950 kesenian Ronggeng Gunung dihidupkan kembali dengan beberapa pembaruan, baik dalam tarian maupun dalam pengorganisasiannya sehingga kemungkinan timbulnya hal-hal negatif dapat dihindarkan.


Untuk mencegah pandangan negatif terhadap jenis tari yang hampir punah ini diterapkan peraturan-peraturan yang melarang penari dan pengibing melakukan kontak (sentuhan) langsung. Beberapa adegan yang dapat menjurus kepada perbuatan negatif seperti mencium atau memegang penari, dilarang sama sekali. Peraturan ini merupakan suatu cara untuk menghilangkan pandangan dan anggapan masyarakat bahwa ronggeng identik dengan perempuan yang senang menggoda laki-laki.

Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1988. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara I. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

http://uun-halimah.blogspot.com/2008/03/ronggeng-gunung-ciamis-jawa-barat.html

www.anjjabar.go.id
www.pikiran-rakyat.com
www.korantempo.com
www.petabudaya.com

Rabu, 03 Februari 2010

Pepeling


Nangtung di poponclot PLPM ngareret ka beulah kaler, Gunung Bitung lenag herang taya tutuwuhan. Gunung Kancana tinggal nyesa tatangkalan nu aya di nusa, kitu deui sawah lega ibarat tegalan da puguh kagaringan, sawahna ngan tinggal sadampal panangan. Karikil robih nami tina sumber cai kiwari ngajirim tingal gawir nu lungkawing.
Regepkeun ku anjeun :
Gunung kayuan, lamping awian, lebak sawahan, legok balongan, jeung datar imahan. Gunung teu meunang dilebur, lebak teu meunang diruksak, ka cai jadi saleuwi, ka darat jadi sareuma, sing runtut sauyunan, sabobot sapihanean, mipit kudu amit, ngala kudu menta. Sing kacukcruk walunganana sing kapapay wahanganana. Nete taraje nincak hambalan.

Ngiring Bingah



Ngiring bingah ka para wargi anu parantos soson-soson ngamumule budaya sunda

Linggaharja Kampungku


Linggaharja adalah nama Kampung di Desa Mekarsari Kecamatan Tambaksari Kabupaten Cimis, kurang lebih 40 Km Timur Kota Ciamis. Luas wilayah Kampung Linggaharja 150 ha. Wilayah Kampung Linggaharja secara geografis dikelilingi oleh pegunungan, sebelah Utara dibatasi Gunung Bitung, sebelah Barat Gunung Gedogan dan di selatan berbatasan dengan wilayah Cukangbiru yang merupakan barisan Gunung Gedogan. Dengan keadaan letak geografis di kaki Gunung, banyak berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat setempat dan pertanian merupakan sektor utama mata pencaharian masyarakat.

Secara administratif Kapung Linggahrja Terbagi Menjadi 3 Rukun Warga (RW) dan 9 Rukun Tetangga (RT), yaitu RW 01 meliputi Rt 01, Rt. 02 dan Rt. 03, RW 02 meliputi Rt. 04, Rt. 05 dan Rt. 06 RW 03 meliputi Rt. 07, Rt. 08 dan Rt. 09.

Penduduk Kapung Linggaharja terdiri dari 362 kepala keluarga, 1.072 jiwa dengan mata pencaharian utama sebagai Petani, Pegawai Negeri, Pedagang. Kehidupan masyarakat Kampung Linggaharja masih memegang adat budaya turun temurun, hal ini bisa dibuktikan dengan masih terselenggaranya gegiatan rutin di masyarakat seperti acara “Nyacarkeu Jalan”. Nyacarkeun Jalan merupakan bagian dari rangkaian acara “Hajat Lembur” yang rutin dilaksanakan setiap tahun. Acara ini mencerminkan rasa syukur kepada yang kuasa atas nikmat yang diberikan dan permohonan petunjuk jalan untuk melangkah di masa yng akan datang.
“Menurut sesepuh Dusun Linggaharja, Iding Kurniadi, budaya yang dipelihara itu bisa mempererat tali silaturahmi warga. Warga Dusn Linggaharja yang berada di luar wilayah pun jadi teringat tanah leluhurnya. Budaya yang dipelihara itu sebagai kunci kebersamaan masyarakat di Dusun Linggaharja.”
"Pada acara hajat kampung, seluruh warga Dusun Linggaharga berkumpul. Tidak hanya warga yang ada di wilayah Dusun Linggaharja saja, tapi yang di luar dusun pun turut berkumpul. Jadi acara ini bisa sebagai pengikat tali silaturahmi," tutur H. Iding Kurniadi,
“Sementara untuk mengembangkan potensi budaya yang ada di Dusun Linggaharja, masyarakat setempat kemudian membentuk Paguyuban Surya Gumilang. Paguyuban ini menampung juga warga Dusun Linggaharja yang berada di luar kota. "Dengan bergabung di paguyuban tersebut, mereka jadi merasa punya ikatan persaudaraan. Terutama warga Dusun Linggaharja yang berada di luar kota, mereka jadi merasa senasib dan sepenanggungan," ujar sesepuh Paguyuban Surya Gumilang, Tarjo Sudarsono, S.Kar., M.Sn. (PR 4/3/09).
Lingkung Seni Surya Gumilang memang belum terlalu lama eksis,umurnya baru "Seumur Jagung". Namun grup seni yang beralamat di Jl.Tambaksari RT.04/RW.02 Dusun Linggaharja Desa Mekarsari,Kecamatan Tambaksari, Kabupaten Ciamis ini sudah amat dikenal masyarakat,bahkan untuk ukuran kabupaten, itu terbukti dengan dipanggilnya grup pimpinan Kurdi S.Pd & Karnen Haryadi untuk "mapag" Gubernur Jawa Barat & Bupati Ciamis di event Pesta Layang-Layang tahun kemarin di Pantai Pangandaran..Bagi anda yang berminat mengundang Surya Gumilang untuk tampil pada event-event atau di acara syukuran/hajatan ,anda bisa menghubungi contact person di 085223916411 (Karnen Haryadi). Atau bisa datang langsung ke alamat yang tercantum di atas. Di Linggaharja juga terdapat wadah kelompok karang taruna,yaitu IMPALA (Ikatan Muda-Mudi & Pelajar Linggaharja). IMPALA sudah berumur puluhan tahun dan berlangsung turun temurun. Mereka seringkali aktif di berbagai kegiatan,dan dikenal sebagai karang taruna paling eksis & aktif di kecamatan. Setiap tahun dalam mejelang hari raya idul fitri,mereka selalu mengadakan acara Malam Silaturahmi Warga Impala. Biasanya mereka mengisi acara tersebut dengan kegiatan sosial & hiburan.