Selasa, 15 Maret 2016

Alesha Azzalea Zahra

Alesha Azzalea Zahra Lagi Naik Pesawat
Dede Alesha Azzalea Zahra 27 April 2015





Minggu, 20 Januari 2013

Surat Untuk Ibu



Teruntuk: Ibu
Hari ini, Minggu 13 Januari 2013 Jam 23.15 WIB, Ibu taukah engkau hari-hari ku begitu terasa sunyi dan sepi, sering ku hibur hatiku yang sepi ini, namun seringkali pilu itu datang. Ibu disini hujan gerimis, cuaca dingin, sangat mungkin untuk menuntaskan istirahat libur sabtu dan minggu, supaya besok bisa beraktifitas dengan fit dan nyaman. Tapi aku tidak bisa, aku mesti bekerja di hari yang bagi orang lain sangat menyenangkan tapi aku tidak…tidak bisa ibu.   Ibu...apa kabarmu disana, sudah lama kita tak jumpa dan tak bertegur sapa layaknya anak dan orang tua, ibu...aku merindukanmu, rindu dirimu yang dulu yang selalu ada saat tubuh ini butuh sebuah pundak untuk sejenak bersandar.
Ibu, malam ini terlintas semua kenanganku bersamamu selama beberap tahun berlalu, walau tidak bisa disebutkan satu persatu, tapi ada beberapa kenangan yang membuat batin ini seakan tidak bisa melupakannya, kenangan ketika ibu selesai menanam padi di sawah kita yang tidak terlalu luas, dan mendapat berita bahagia kalau saudara kandung ibu telah datang dengan selamat dari tanah suci, betapa gembiranya ibu mendengar berita itu, satu kesadaran saat itu muncul pada diri anakmu dan berjanji pada ibu, ingin suatu saat ibu merasakan keadaan yang sama dengan saudara ibu, maafkan ibu aku belum bisa mewujudkan janji itu….entahlah, entah mengapa untuk mewujudkan janji itu dengan keadaan seperti ini sepertinya sulit untuk terwujud, namun banyak hal yang aku sadari selama ini aku belum bisa memberikan hal yang berarti untuk dirimu, bahkan aku belum bisa memberikan apa yang seharusnya diberikan seorang anak kepada ibunya, ibu...maafkan aku, namun sampai detik ini aku masih berjuang untuk semua hal yang menjadi mimpi aku selama ini.
Ibu...perlahan aku mencoba berdiri tegar seperti yang kau ajarkan dan inginkan dariku  namun hati ini tetap rapuh jika aku ingat segala tentangmu, ibu...maafkan aku yang belum bisa memberikan apa harus aku berikan, maafkan anakmu ibu yang kadang lupa menanyakan kabarmu atau bahkan bertegur sapa denganmu, maafkan aku ibu jikalau aku belum bisa kembali ke pelukan dan buaianmu, kaki ini masih terus melangkah mencari dan mengejar apa yang kita harapkan.
Ibu...maafkan aku jika aku membuatmu menunggu terlalu lama. Ibu…aku belum bisa memberikan kebahagian yang bisa dinikmati bersama bapak di hari tua, ibu akan aku pastikan aku akan kembali kepelukanmu, kembali bersamamu, bersama bapak, bersam kakak, bersama adik, kembali berada disisimu dan melihatmu senyum. Ibu...aku tau walaupun tanpa ku minta doamu selalu mengalir untukku.
Ibu..lewat surat kecil yang aku tuliskan untukmu ini, aku ingin mengucapkan terima kasih banyak ibu, terima kasih atas cinta setulus hati yang kau berikan untukku, terima kasih atas kasih sayang yang selembut hatimu padaku, terima kasih atas segala pengorbanan dan kesabaranmu dalam menghadapiku, ucapan terima kasih bahkan semua harta yang ku miliki sekalipun mungkin tak mampu membayar semua pengorbananku, namun aku tau ibu...bukan itu yang kau harapkan, aku tau kau tak mengharapkan aku untuk membalas semua itu, cukup melihatku tersenyum bahagia dan menjadi pribadi yang jauh baik lagi, itulah yang membuatmu bahagia dan yang akan membuatmu tersenyum manis kepadaku.
Ibu semoga dengan seuntai kata yang aku tuliskan untukmu sedikitnya dapat mengurangi rasa rindumu terhadapku. Ibu...bapak …peluk ciumku untukmu...

Senin, 13 Agustus 2012

MUDIK........


DALAM sebuah laporan yang ditulis sebuah media nasional, pernah dituturkan bagaimana kehidupan orang Indonesia yang menetap di berbagai negara. Umumnya mereka berkehidupan cukup baik, setidaknya bila dibandingkan dengan nasib yang mereka temui di dalam negeri. Semasa di Prancis pun, saya berteman akrab dengan suami istri pekerja Indonesia yang sudah lebih dari dua dasawarsa hidup di ibu kota negeri itu.

Sebagai pekerja kontrak di sebuah hotel, katakanlah sebagai room girl, sang istri ditemani suaminya yang tukang masak amatir hidup sangat bercukupan. Dengan memiliki rumah tak kurang dari 400 meter persegi dua lantai, di tanah seluas sekitar 700 meter di banlieue atau suburb Paris, Gargenville (45 menit dengan kereta bawah tanah, Metro, ke pusat Paris), keluarga pendatang itu bisa melakukan piknik hampir sekali setiap minggu dengan peralatan yang cukup lengkap dan modern.

Ada yang menarik dari ending tulisan di paragraf pertama, yang senada dengan ungkapan hati teman saya di Gargenville. Para perantau Indonesia ternyata memiliki tujuan hidup yang sama; pada akhirnya kembali ke kampung tradisional mereka--tentu di Indonesia--dan menghabiskan hidup di sana. “Berapa pun harta bisa saya dapat dan kumpulkan di sini, tetap saya akan kembali ke desa saya di Purwokerto. Walau di sana hanya jadi tukang bakso, saya akan tetap menghabiskan masa tua dan mati di sana.“

Soal ungkapan semacam itu, tentu saja keluarga perantau urban dalam negeri pernah mengalami, terutama orangtua yang selama ini hidup bersamanya di daerah urban (kota). “Biarlah ayah/ibu tidak kalian temani, bahkan tidak dirawat atau dibiayai, yang penting ayah/ibu bisa kembali ke desa, dekat rumah/makam nenek/kakek, dan mati di sana.“

Semua orang Indonesia, betapa pun jauh jarak yang ia tempuh saat pergi, betapapun panjang waktu saat ia berdiam di negeri asing, memiliki kerinduan dan keinginan sangat kuat dan sangat purba tentang tanah asal. Tanah bukan hanya tempat ia mulai ada (dilahirkan) di dunia ini, melainkan juga ruang dan waktu yang kemudian meneguhkan `keberadaan' dirinya sebagai makhluk bernama manusia yang berakal, sosial, spiritual, dan kultural.

Posisi tanah asal memang sangat primordial, `primus' dari dasar keberadaan dan eksistensi kita sebagai manusia, menjadi acuan dan sumber peneguh pertama--bahkan terakhir--yang tidak tergantikan bagi pengakuan diri kita sebagai manusia sebagai bagian dari sebuah sociuz atau kelompok (komunitas, masyarakat, etnik atau suku bangsa) tertentu.

Rantau bagi Kita

Bagaimanapun lekat dan integratifnya dunia asal dalam diri kita, merantau tetap menjadi pilihan bagi sebagian kita yang ingin mencari kemungkinan kemungkinan lain karena tidak cukup puas dengan pilihan-pilihan hidup di daerah asal. Hanya, aktivitas merantau bangsa kita--yang maritim--sangatlah berbeda dengan mereka--bangsabangsa--kontinental (daratan).

Bagi bangsa daratan, merantau dilakukan/diperlukan ketika mereka merasa sumber daya natural sudah tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang terus berkembang. ereka perlu ke tempat lain untuk mendapatkan sumber kehidupan baru di sana. Karena itu ketika mendapatkan tempat baru itu, mereka akan mengolah, kalau perlu menguasai (mengolonisasi), daerah rantau. Mereka pun hidup menetap di sana, beranakpinak dan menjadi bagian eksistensial daerah rantau itu.

Itulah riwayat diaspora yang permanen dari bangsa-bangsa daratan seperti arya (India), Yahudi, Arab, Armenia, dan China. Satu kenyataan dan sejarah yang sangat berbeda dengan mereka yang berasal dari negeri kepulauan atau maritim seperti Indonesia. Pada awalnya, perantauan itu dilakukan selalu melalui air/laut, dengan berlayar. Sebagaimana pemeo para pelaut di mana pun, “Ada saatnya kau pergi melintas cakrawala dan tiba saatnya kau kembali membuang sauh di bandar.“

Perantau Indonesia pasti akan kembali, kapan pun. Itu alasan kenapa diaspora bangsa kita tidak sekuat mereka, bangsa-bangsa yang disebut di atas. Bangsa kita, sejak mula, ribuan tahun sebelum Yesus lahir, merupakan bangsa perantau dengan rentang jarak terjauh bila dibandingkan dengan bangsa mana pun di atas bumi ini. Itu karena samudra memang dua kali lipat lebih luas daripada daratan.
Hanya bangsa maritimlah yang mampu menaklukkannya, sejak dulu kala.
Intensi perantauan itu pun bukanlah penaklukan dan kolonisasi tanah sebagai sumber daya sebagaimana orang daratan. Bagi bangsa pelaut, perantauan merupakan eksplorasi, untuk ilmu dan spiritualisme, menghargai laut sebagai saudara dan jalan menuju `Tuhan'. Maka cermatilah, betapa umumnya dewa-dewa tradisional atau primor dial kita biasanya berasal dan berdiam di tengah laut/samudra.

Karena itu pula, rantau bagi orang Indonesia bersifat sementara. Ia akan kembali. Tidak mengherankan jika bangsa ini ialah bangsa terkaya dalam khazanah kuliner yang bertahan lama, untuk kebutuhan perjalanan itu.
Tak ada bangsa mana pun yang mampu menciptakan makanan, yang tidak hanya bertahan lama--bahkan berbulan-bulan--tetapi juga semakin enak.
Lihatlah gudeg, tapai, tempe, sayur tolo, kerupuk palembang, nasi timbel, dan sebagainya. Tak mengherankan bila rendang dapat menjadi masakan paling favorit masyarakat dunia dalam polling yang dilakukan di Amerika Serikat.

Sinkretisme Mudik

Merantau merupakan sebuah kegiatan dan pilihan hidup yang sudah given bagi para penduduk di kepulauan Nusantara ini. Ia bukan menjadi sebab dan alasan untuk sekadar mencari penghasilan atau kekayaan, apalagi sebagai motif politik ketika seseorang mendapat tekanan politik di daerah asalnya. Karena itu, betapapun guncang dan chaos negeri ini, dunia tidak pernah mencata adanya pelarian atau pengungsian orang Indonesia yang merepotkan negara/bangsa lain.

Hal yang terasa ironis dari rantau ialah paradoksnya. Di satu sisi ia memberi kita--para perantau--ilmuilmu baru, kesempatan atau peluang baru, bahkan kejayaan baru. Namun di sisi lain, ia juga memberi kita ruang dan desakan (yang begitu kuat) untuk melakukan pelanggaran bahkan pengkhianatan pada nilai-nilai luhur yang dahulu kita pahami, pelajari, dan internalisasi di daerah asal (desa atau adat kelahiran). Kota atau daerah rantau telah menggiring kita untuk mengingkari karakter dan jati diri kita yang sebenarnya. Di kota dan rantau kita retak, rapuh, hancur, penuh salah, keliru, dan dosa.

Sadar atau tidak, sengaja atau tidak, rantau atau kota sebenarnya telah mengikis eksistensi atau keberadaan kita yang integrated, utuh, dan berkarakter. Untuk itulah kita selalu membutuhkan sebuah ruang teguh tempat kita bisa menautkan kembali diri kita agar tidak merasa hilang atau lenyap sama sekali di dunia rantau/kota. Ruang yang ternyata ada di dalam dunia tradisi atau primordial, ruang yang teguh dan terpelihara begitu lama, lebih lama bahkan--katakanlah--daripada semua bangsa modern di Eropa.
Itulah ruang dan tautan yang membuat kita menjadi Sunda, Bugis, Minang, Flores, Jawa, atau Bali begitu napas pertama kita hirup saat lahir di dunia, sebelum kita menyadari kita menjadi bagian formal sebagai penduduk Indonesia, memiliki KTP, bayar pajak, bahkan sebelum kita memi liki agama. Lebih dulu Anda menjadi orang Madura sebelum Anda menjadi Islam misalnya, dan seterusnya.

Karena itu, kita semua membutuhkan mudik sebagai sebuah aktivitas untuk meneguhkan kembali jati diri kita, meneguhkan keberadaan dan eksistensi kita sebagai manusia. Kita membutuhkan kembali semua tautan kultural tempat kita berpegangan, diterima, dan menjadi bagian dari komunitas tradisional yang sejak lahir kita menjadi identitas purba kita. Kita tidak akan pernah tenang atau mati dengan mata dan hati terpejam bila dunia asal dan primordial itu tidak kita temukan atau tidak menerima kita. Seolah tanah pun enggan menerima jasad dan jiwa kita. menerima jasad dan jiwa kita.

Peristiwa mudik terjadi sepanjang masa kehidupan kita ber bangsa. Lebaran atau Idul Fitri merupakan momen yang dianggap tepat untuk menyelengga rakan mudik itu secara kolektif. Tidak mengherankan bila di setiap perayaan agama Islam itu, mudik terjadi sangat masif; begitu masif sehingga dunia terpana dan tak ada bangsa mana pun dapat menyamainya. Itu membuat Idul Fitri menjadi puncak perayaan terbesar agama Islam di negeri ini, lebih dari negeri Islam mana pun.

Itulah bentuk sinkretis kita yang paripurna. Dua ide, kultural dan spiritual, tradisi dan agama, menyatu dalam praksis dan renungan idealistisnya. ‘Kembali ke fitri’                         
secara religius juga berarti `kembali ke diri kultural' dalam adatnya. Betapa indah. Sayangnya itu hanya bersifat sementara, seminggu dan dua minggu. Karena 50 minggu sesudahnya, kita kembali ke kota untuk hancur, bias, berkhianat, dan berdosa. Merusak diri, juga dunia di sekitar kita.

Apakah Lebaran dan mudik akan selamanya bersifat sementara seperti sekarang ini? Menjadi tempat mencuci tangan yang akan segera kita kotorkan kembali? Para pemimpin serta elite formal dan informal yang bertanggung jawab atasnya. Mereka harus berbuat dan memberi bukti, kefitrian dan kesejatian diri merupakan buah yang permanen dari ritus mudik dan Lebaran ini. Namun bisakah mereka, sedangkan pengertian tadi pun mereka tak punya? Marilah kita bersabar.

Rabu, 23 Mei 2012

Bangsa Pecundang?


Secara de jure dan de facto, Indonesia telah merdeka dan menjadi Negara yang berdaulat, hal ini bisa dilihat dari adanya pengakuan Negara-negara arab khususya Mesir, Syria, Iraq, Lebanon, Yaman, Saudi Arabia dan Afghanistan. Dan dukungan kemerdekaan dari Negara-negara Arab.  Secara resmi keputusan sidang Dewan Liga Arab tanggal 18 November 1946 menganjurkan kepada semua negara anggota Liga Arab supaya mengakui Indonesia sebagai negara merdeka yang berdaulat. Alasan Liga Arab memberikan dukungan kepada Indonesia merdeka didasarkan pada ikatan keagamaan, persaudaraan serta kekeluargaan.

Namuun, apakah secara ekonomi Indonesia juga telah merdeka? Ya, secara ekonomi Indonesia adalah Negara merdeka seperti yang diungkapkan Anggito Abimanyu, ekonom yang juga mantan orang pemerintah, yakin sekali bahwa Indonesia telah merdeka secara ekonomi. Keyakinan Anggito didasarkan pada tiga hal. Pertama, perencanaan ekonomi kita telah dibuat oleh bangsa Indonesia serta diinisiasi pemerintah pusat dan daerah. Pengelolaan ekonomi telah dirancang, disahkan, dilaksanakan, dan diawasi sendiri melalui system pemerintahan yang modern dan demokratis. Kepemilikan atas asset-aset dan cabang produksi strategis telah banyak diatur dengan mengedepankan aspek nasional.
Lha….lantas alasan apa yang menyebut bangsa kita bangsa pecundang? Bung Karno pernah mengindikasikan empat hal suatu bangsa dikatakan bangsa pecundang. Pertama adalah bangsa yang membiarkan keadaan negaranya sebagai pengekspor buruh murah ke luar negeri. Apakah kita melakukan itu saat ini? Ya, telah banyak pakta, kenyataan bagaimana banyaknya kekerasan terhadap TKW kita. Hal tersebut disebabkan tenaga kerja dikirim tanpa keahlian yang memadai dan terkesan dipaksakan. Pada umumnya tenaga kerja dari Indonesia di sana memang sudah dianggap "bermental babu". Dalam artian mereka bersedia melakukan apa saja, meski dengan bayaran murah dan menyalahi aturan yang sudah disepakati dalam kontrak kerja. 

Kedua adalah berkaitan dengan kemerdekaan ekonomi dimana kepemilikan atas asset-aset dan cabang produksi strategis telah banyak diatur dengan mengedepankan aspek nasional bangsa, sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 pasal 33.  Bagaimana dengan Indonesia? Penghasil sumber daya alam (SDA) tetapi hanya menjadi tempat penanaman modal asing (PMA). Bukankah sudah mulai marak juga di Indonesia? Bukan marak lagi tetapi sudah  banyak aset-aset alam kita yang telah dikelola oleh perusahaan asing, meski diantaranya ada yang melalui perusahaan indonesia tetapi tetap saja 90% sahamnya milik asing. Bangsa kita yang paling berhak menuai kekayaan di negeri sendiri, hanya bisa menjadi budak dan berakhir di bawah garis kemiskinan. Jauh dari kata sejahtera yang dijamin oleh undang-undang.

Ketiga indikasinya adalah bangsa yang hanya menjadi pasar bagi komoditas bangsa-bangsa maju. Wah kalau yang ini jelas sudah terlihat. Maraknya berita di koran tentang usaha-usaha lokal yang terancam gulung tikar atau bahkan sudah gulung tikar karena tidak bisa bersaing di pasar global. Mereka tidak bisa bersaing jika kita terus menerus membeli barang-barang import, kita membeli barang import karena kualitasnya yang jauh lebih baik, tetapi sisi lain juga mengatakan para pengusaha lokal tidak mampu meningkatkan kualitas karena minat pembeli yang rendah pula karena peningkatan kualitas tidaklah murah biayanya. Yang lebih memprihatinkan lagi Indonesia dijadikan tempat buang sampah barang-barang bekas dari Negara lain. Ini sudah ter identipikasi dengan ditemukannya barang-bekas berbahaya telah masuk ke Indonesia dengan alasan untuk mendaur ulang barang barang bekas tersebut, tetapi apakah kita merasa bangga dijadikan tempat sampah bagi Negara lain?

Keempat, di mana peran pemerintah? Salah satunya bisa kita lihat bagaimana birokrasi tumbuh di Negara kita, Penegakan hukum, atau dalam kehidupan masyarakat, adakah bibit-bibit korupsi itu di sana?  Saya yakin lebih banyak orang mengatakan kalau korupsi, kolusi dan nepotisme masih terjadi di birokrasi dan masyarakat kita. Bahkan bibit-bibit itu masih tumbuh subur di kehidupan masyarakat kita. Tidak berlebihan kalau mental kita mental orang-orang yang dijajah, mental penjilat pada yang lebih berkuasa. Bahkan tuan-tuan terhormat yang duduk empuk dan tidur saat sidang rakyat itu menjajah bangsanya sendiri dan menjilat pada penguasa. Hanya segelintir orang yang masih terus berusaha berjalan lurus. Sepertinya ini sudah menjadi penyakit akut yang beregenerasi sangat cepat, penyakit akut yang tersebar di semua kalangan negeri ini. Pembodohan kerap diberlakukan di negeri ini, yang sebetulnya belum benar-benar merdeka selama masih ada yang kelaparan, selama masih banyak yang tak berpendidikan. Kita akan terus menjadi bangsa budak.

Jangan munafik, akuilah kita memang bangsa budak, bangsa pecundang. 
Setelah benar-benar tersadar, masihkah kita mau menjadi bangsa budak, bangsa pecundang?

Pangumbaraan, 23 Mei 2012

Rabu, 02 Mei 2012

Hari Pendidikan Nasional


Kawan, aku masih disini mengisi hari-hari dengan rutinitas seperti biasa pula, haya yang agak berbeda kalau hari biasanya aku memulai aktifitas dengan duduk di meja “Chitose” yang bagian jok nya sedikit terangkat dan sudah nampak kayu pengganjal joknya, namun hari ini aku memulai aktivitas di lapangan upacara mememperingati hari Pendidikan Nasional
Sampailah pada kesempatan Pembina Upacara menyampaikan sambutannya, yang kalau sedikit di ulang kesimpulannya adalah : “Refleksi pendidikan momentum Hardiknas, sama dengan revitalisasi hakikat pendidikan itu sendiri. Yakni mengembalikan pada pemahaman pendidikan sebagai cara terbaik menjadikan manusia bermartabat dan luhur. Berperilaku cerdas untuk menjadikan dunia lebih baik. Bukan sebaliknya, merasa ‘terdidik’ jauh dari perilaku etis. Sehingga menghancurkan kehidupan dan martabat manusia.” Sebuah uraian yang penuh makna bukti bahwa konseptor pidato adalah seseorang yang punya pandangan luas tentang dunia pendidikan. Tapi rasanya hal itu juga bukan hal pertama disampaikan, dari tahun ke tahun pada setiap peringatan hari Pendidikan Nasional ada kemiripan makna pidato nya. Justru yang kami pertanyakan adakah langkah konkret yang dilakukan untuk perubahan di dunia pendidikan dan sampai sejauh mana hal tersebut dilakukan?  Mengapa saya bertanya tentang hal itu?, karena berdasarkan data dalam Education For All (EFA) Global Monitoring Report 2011: The Hidden Crisis, Armed Conflict and Education yang dikeluarkan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) yang diluncurkan di New York indeks pembangunan pendidikan atau education development index (EDI) berdasarkan data adalah 0,934. Nilai itu menempatkan Indonesia di posisi ke-69 dari 127 negara di dunia. Saat ini education development index (EDI) Indonesia berada pada level medium, masih tertinggal dari Brunei Darussalam yang berada di peringkat ke-34. Brunai Darussalam masuk kelompok pencapaian tinggi bersama Jepang, yang lebih mengejutkan lagi penurunan EDI Indonesia yang cukup tinggi tahun ini terjadi terutama pada kategori penilaian angka bertahan siswa hingga kelas V SD. Kategori ini untuk menunjukkan kualitas pendidikan di jenjang pendidikan dasar yang siklusnya dipatok sedikitnya lima sampai enam tahun. Padaha menurut beberapa ahli pendidikan, usia sekolah dasar adalah usia paling menentukan dalam keberhasilan sebuah pendidikan.
 “Pendidikan Indonesia Gagal”, begitulah asumsi publik terhadap kondisi pendidikan di negara kita. Kekecewaan tersebut datang manakala output pendidikan tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Output yang diharapkan masyarakat secara garis besar adalah pendidikan mampu mencetak manusia-manusia unggul berkualitas yang diharapkan mampu membawa perubahan positif bagi Negara Indonesia. Karena realitas yang terjadi di Indonesia seperti ini, wajar saja jika publik menilai pendidikan di Indonesia gagal.
Pendidikan di Indonesia saat ini memang sudah terbuka untuk semua anak bangsa. Program ‘Wajib Belajar’ menjadi bukti pendidikan bagi semua anak bangsa. . Namun kondisi ini tetap menyisakan pertanyaan besar: apakah sudah menjamin kualitas karakter anak bangsa, sehingga tumbuh menjadi individu yang bermartabat, hidup dalam keseimbangan kognisi, afeksi dan perilaku. Bukti konkret kekhawatiran itu adalah makin banyaknya perilaku korupsi yang merupakan muara akhir dari proses perilaku tidak jujur.
Kalau kita membaca pemberitaan media masa minggu-minggu ini kita sering mendengar berita yang isinya hamper sama yaitu : Perlahan-lahan tabir keterlibatan Anggota Komisi X DPR, Angelina Sondakh dalam kasus korupsi terkuak. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengendus korupsi yang dilakukan Angelina Sondakh tidak hanya di Kementerian Pendidikan Nasional melainkan banyak indikasi dugaan korupsi yang terdapat di berbagai Universitas Negeri di Jawa, Sumatera dan Nusa Tenggara Barat.
"Saya lupa jumlah dan nama universitasnya. Tapi itu mulai dari Sumatera Utara sampai ke Nusa Tenggara Barat. Proyeknya tersebar di sana," kata Wakil Ketua KPK, Bambang Widjodjanto di Jakarta, Senin (30/4/2012) pagi. Menurut Bambang, Angie diduga terlibat pada korupsi pengadaan barang untuk penyediaan laboratorium dan proyek gedung universitas. "Kebanyakan pengadaan barang untuk laboratorium. Untuk kegiatan universitas," katanya.
Inilah yang menjadi tantangan dunia pendidikan saat ini. ‘Generasi Emas’ yang menjadi jargon Hardiknas 2012, hanya akan lahir dengan jika pendidikan signifikan dengan moralitas dan mampu solutif dalam upaya menang berkompetisi dengan kondisi global. Jika tidak mampu, pastilah bangsa kita tetap akan terbelenggu dengan penjajahan baru versi globalisasi yang akan menghancurkan bangsa. Kasus Tenaga Kerja Indonesia yang menjadi korban kekerasan, hendaknya menjadi salah satu hal yang perlu diupayakan antisipasi melalui pendidikan.
Untuk itulah marilah kita bersama-sama untuk membantu mewujudkan pencapaian tujuan pendidikan, yaitu menurut UUD 1945 (versi Amendemen), Pasal 31, ayat 3 menyebutkan, "Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang." Pasal 31, ayat 5 menyebutkan, "Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia." Jabaran UUD 1945 tentang pendidikan dituangkan dalam Undang-Undang No. 20, Tahun 2003. Pasal 3 menyebutkan, "Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab."
Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara menegaskan bahwa pendidikan memiliki hakikat memanusiakan manusia dengan mewujudkan pribadi yang merdeka

Kamis, 19 April 2012

Upaca Adat Nyacarkeun Jalan

Upaca adat Nyacarkeun Jalan
Nyacarkeun Jalan merupakan bagian dari rangkaian acara “Hajat Lembur” yang rutin dilaksanakan setiap tahun di Dusun Linggaharja Ds. Mekarsari Kec. Tambaksari Kab. Ciamis. Video lengkap nya dapat anda download di sini
http://www.ziddu.com/download/19176139/Pembukaan.mp4.html
http://www.ziddu.com/download/19184728/tengah.mp4.html
http://www.ziddu.com/download/19184727/terakhir.mp4.html
http://www.ziddu.com/download/19178090/sepertiga.mp4.html
http://www.ziddu.com/download/19184090/Penutup.mp4.html
http://www.ziddu.com/download/19176178/Pembukaan2.mp4.html

Kamis, 22 Maret 2012

BASA INDUNG, BASA BUDAK


Laporan : MAMAT SASMITA
Keur karereana urang Jawa Barat mah nu disebut basa indung teh basa Sunda. Ieu basa bisa disebut dadasar kabudayaan. Tina ieu basa ngamalir kasedih tur kagumbira.
Rupaning hal ngabeungharan kabudayaan, boh nu material boh nu non-material. Basa bakal jadi roh tina rupaning wangun budaya, da eta nu jadi rawayan pikeun nepikeun pikiran jeung rasa tea.
Basa teh saksi ngeunaan kamampuh manusa dina nyiptakeun alat komunikasi, nyeukeutan persepsi tur refleksina. Kabeh mangrupa ekspresi jiwa masarakat di tempat gumelarna eta ba¬sa, sarta ngandung sajarah pataremana hiji basa jeung basa sejen.

Ningkatna karageman basa katut kamekaran atikan multibasa bisa milu ngamumule karageman budaya di pakumbuhan internasional, sarta bisa nyip¬takeun toleransi. Basa teh lain bae alat komunikasi tapi deuih alat ekspresi budaya jeung identitas. Teu salah mun aya nu nyebut yen basa teh banda kamanusaan nu pangmahalna. Ngan hanjakal gampang pisan rengatna.
Tumali ka dinya, mieling Poe Basa Indung kudu terus dilaksanakeun, najan kamelang kana musnahna basa indung teh geus disoarakeun ti beh ditu mula. Hanas eta geus jadi repetisi, teu jadi masalah. Tetep kudu terus digedurkeun, sugan aya sasieureun sabeunyeureunana keur ma¬sarakat.

Alusna acara mieling Poe Basa Indung teh lain ngan dina bulan Pebruari, tapi sapanjang taun. Atuh nu mielingna alusna mah lain ukur pakumpulan kabasaan, paguron luhur atawa lembaga pamarentahan, tapi deuih rupaning komunitas leutik nu bacacar di masarakat.
Ungkara "basa teh ciciren bangsa, leungit basana leungit bangsana", lain bae kudu dipikawarioh ku budayawan tapi deuih kudu dienyakeun tur kaharti ku sakumna masarakat. Ulah aya anggapan yen eta teh klise. Sabalikna, kudu terus dijeroan, kudu terus disoarakeun. Nu dipalar masarakat beuki engeuh yen enya basa indung ten perlu dimumule tur aya mangpaatna.
Tan, lebah mangpaatna sok pagedrug jeung basa nasional atawa basa intemasional. Diaduhareupkeun kitu mah basa indung teh siga nu teu walakaya, komo mun aya nu nyebutkeun yen neangan gawe man teu ditanya bisa henteuna nyarita ku basa indung, iwal ti mun rek jadi guru basa daerah.

Tumali kana perkara basa indung, sawala PSS (Pusat Studi Sunda) bulan Pebruari 2009 ngondang tilu panyatur: Etti R.S., pupuhu PPSS (Paguyuban Panglawungan Sastra Sunda); Mira Genagey, pupuhu Yayasan Indonesia Masa Depan jeung Asep Ruchimat, guru SMP Pasundan. Hanjakal Etty teu bisa hadir lantaran aya halangan.

Cek Asep, aya opat hal penting dina pangajaran basa ten, boh basa nasional boh basa indung: maca, ngadengekeun, nulis jeung ngomong. Eta we heula. Ulah loba teuing tiori.
Guru basa Sunda kudu parigel nepikeun pangajaran basa Sunda, kudu pikaresepeun, pikabitaeun barudak. Ulah matak pikalieureun.

Asep sorangan sok ngaheulakeun naon nu matak pikare¬sepeun barudak, najan aya anggapan rada mengpar tina kurikulum. Upamana, barudak resep kana dongeng, der diajak ngaguar dongeng.

Tetela, barudak teh rancage. Bisa ngadongeng! Ti dinya ge geus bisa diajen kumaha nyaritana, ngaregepkeunana, jste. Piraku teu napak saeutik-saeutik acan. Komo ayeuna mah basa Sunda teh geus jadi muatan lokal wajib ti taun ajaran 2007/2008 (tadina man ngan ukur muatan lokal, teu diwajibkeun). Ari murid sakola, ti SD nepi ka SMA, di Jawa Barat aya kana dalapan jutana.
Hal sejen nu jadi kahengker tur mindeng jadi bangbaluh kana lumangsungna pangajaran basa Sunda teh jumlah guru basa Sunda nu enya-enya weruh kana basa Sunda kacida kurangna dibanding jeung lobana sakola.

Asep nyontokeun yen di sakolana, tina opat guru basa Sunda nu aya, ngan saurang nu boga kasang tukang pangajaran basa Sunda. Kacipta gupuy gapayna nyiar guru basa Sunda.
Lian ti eta, sikep guru-guru sejen can nembongkeun kareueus kana basa Sunda, najan maranehna teh pituin urang Sunda. Ana sakalieun ngobrol jeung mu¬rid, najan papada urang Sunda, teu weleh mamalayuan bae.

Halangan sejenna nyaeta mindengna gunta ganti kurikulum. Kurikulum KBK taun 2004 geus diganti ku KTSP taun 2006. Pikeun guru mah sok jadi matak pugag ngajarkeun basa Sunda teh.
Aya nu nanya, naon pentingna ngajarkeun basa Sunda ka barudak? Cek Asep, aya opat mangpaat. Kahiji, ngawujudkeun karageman budaya. Hartina, barudak dibere kaweruh ngeunaan budaya sejen nu jadi dadasar kahirupan sapopoe. Di dieu pentingna aya kasadaran yen kaayaan multikultural teh kudu diaku. Hirup teh.ulah kurung batokeun. Kadua, miara identitas etnis. Barudak diarajak neuleuman babasan yen "ilang basa ilang bangsa". Katilu, geusan adaptabilitas sosial. Kaopatna, sacara psikologis ngawewegan rasa aman ka barudak.

Pamustunganana Asep boga pamadegan yen basa Sunda teh ulah dipikahariwang teuing. Loba keneh ieuh panyatuma, pon kitu deui nu saladar kana pentingna basa indung. Atuh kapan usaha sangkan basa Sunda tetep langgeng teh geus dimimitian ku sikep politik ti pamarentah ku ayana perda tur kaputusan gubernur.

Mira Gnagey ngaguar pangalaman kulawargana nu sapopoena nyarita kalawan dwibasa
atawa bilingual: Indonesia jeung Inggris. Kapan carogena teh urang Amerika. Barudakna, najan hirup di Bandung, leuwih loba make basa Inggris.
Cek Mira, kuduna mah nu diheulakeun teh basa indung, tapi behna mah bet basa bapana. Aya hal hu jadi ganjelan pedah eta barudak mindeng disebut ku balarea dina tangtungan siga urang asing tapi ngomong ku basa Sunda.

Najan kitu, Mira ge sadar yen basa indung ten kudu dimumule. Lebar temen mun basa indung ilang. Leungit basa indung ten hartina leungit salah sahiji kabeungharan dunya.
Kungsi sababaraha taun Mira nganjrek di Amerika, terus mulang deui ka Bandung. Harita, cenah, nguniang kasadar yen dirina mulang ka sarakan, tur identitas diri teh perlu dimumule. Ari salah sahiji jalanna nya basa indung tea.

Mun ngobrol jeung tamu atawa sepuhna mah Mira ge salawasna make basa Sunda. Ku sakitu ge tayohna aya stimulasi ka barudakna sangkan bisa basa Sunda. Da geuning mindeng aya pertanyaan ti barudakna, upamana nanyakeun harti kecap geuning atawa matak ge.
Pangalaman model kitu lain bae karandapan ku Mira, tapi deuih ku pasangan sejen nu nyaritana di imah bilingual, utamana nu carogena nu urang asing. Rada beda jeung pangalaman nu kulawarga nu pihak awewena urang asing. Dina contoh nu disebutkeun pandeuri mah basa indung bangun nu leuwih dominan pikeun nu mukim di Tatar Sunda.
Sigana hal model kieu ten lain bae sikep nu jadi kolot tapi deuih sikep lingkungan nu pangaruhna lumayan gede.

Ceuk Mira, nu penting mah aya kasadaran heula yen basa indung teh perlu dimumule. Barudak bakal nuturkeun. Jaga mun barudakna geus dewasa, tangtu bakal jadi duta nu ngawakilan selerna dina pergaulan intemasional.

MAMAT SASMITA Panumbu catur matuh Sawala PSS
Dimuat dina Majalah Basa Sunda Cupumanik No 68 Maret 2009.