Jumat, 31 Desember 2010

Surat Untuk Presiden


Kepada
Yth. Bapak Presiden Republik Indonesia

Bapak Presiden yang terhormat, pertama kami sampaikan selamat Tahun Baru 2011, semoga di tahun 2011 nanti keadaan negeri ini semakin baik, kedua berbahagialah bapak Presiden seandainya bapak membaca tulisan ini selain tidak dipungut biaya sepeserpun, juga merupakan cerminan keinginan saya sebagai warga Negara yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan warga Negara lainya bahkan mungkin mempunyai keinginan yang sama.

Bapak Presiden hari ini hari terakhir di tahun 2010, atau dua hari setelah kegagalan Garuda meraih Piala AFF Suzuki Cup, banyak pengamat mengatakan kegagalan Garuda akibat politisasi yang dilakukan pengurus PSSI. Tim Nas Garuda terlalu dibebani oleh hal-hal diluar sepakbola. Salah satunya Nurdin membawa Tim Nasional ke kediaman Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie sebelum bertanding pada putaran final. Disaat kegembiraan saya dan seluruh rakyat Indonesia memuncak tiba tiba Nurdin menyampaikan wacana menaikan tiket final, walaupun hal itu tidak terjadi  tetapi yang lucu mereka katakan dengan angkuhnya, baik Ketua Umum PSSI dan Sekjen Golkar Idrus Marham, tiket diturunkan oleh Aburizal Bakrie. Sebagai bagian dari warga dunia yang sedang gencar gencrnya memerangi korupsi, malah di negeri ini masih ada pemimpin yang mantan narapidana koruptor lagi, bukan melarang mantan narapidana berkiprah di PSSI, tapi mantan koruptornya itu lho yang bikin saya jadi mual. Bahkan sebagai sanksi ; organisasi apaun di Indonesia tertutup untuk para koruptor dan mantan koruptor.
Bapak Presiden, saya tinggal di Ciawi Bogor, hari ini lalulintas di ciawi arah ke puncak padat dan macet. Banyak sekali warga Jakarta dan sekitarnya yang inging merayakan pergantian tahun  di Puncak. Tetapi bagi saya pergantian tahun hanyalah pergantian gambar kalender penghias ruangan saja yang tadinya gambar artis Indonesia sekarang berganti jadi gambar Tim Nas Garuda. Mau bagaimana lagi saya  tidak punya uang, usaha kecil mainan anak-anak yang dulu diharapkan menjadi tumpuan dapur kami sekarang kolaps diserbu mainan anak-anak dari China, penyebannya karena kebijakan ekonomi pemerintahan Bapak  Presiden juga. Tapi saya tidak berkecil hati mungkin suatu saat nanti Bapak mengeluarkan kebijakan yang lebih berpihak kepada kami. Mungkin bisa dibilang keadaan saya lebih baik kalu dibandingkan dengan saudara-saudara kami di Aceh, Nias, Yogyakarta, Wasior, Sidoarjo yang sampai saat ini belum bisa ditangani sepenuhnya, mereka masih banyak yang tidak punya rumah, bahkan generasi penerus mereka terancam masa depanya karena tidak lagi bisa bersekolah, tidak bisa mendapat pendidikan yang lebih baik dari orang tua mereka.
Bapak Presiden, harus kemana lagi kami mencari kebahagiaan, seolah olah di negeri ini tidak ada lagi yang berpihak kepada kami, lihatlah lembaga-lembaga penegakan hukum di negeri ini semuanya telah telah terkontaminasi virus korupsi baik itu kepolisian, kejaksaan dan lembaga lembaga lainnya. Di negeri permai ini, cinta hanyalah kata-kata sementara benci menjadi kenyataan. Kita enggan berbagi kebahagiaan, sebab kemalangan orang lain adalah sumber utama kebahagiaan kita. Pak Presiden, inilah kenyataan memilukan yang kita hadapi, karena kita hidup tanpa cinta maka bahagia bersama menjadi langka.
Bapak Presiden, saya juga sesekali mengikuti perkembangan kepemimpinan Bapak selama ini baik melalui siaran TV (Tv yang presenternya cantik, dan katanya mantu salah satu meneri di cabinet Bapak jilid I,) maupun media cetak. Walaupun sedikit yang dimengerti, tapi  ada hal yang menarik yang disampaikan oleh salah satu  media tersebut dan ada kemiripan dengan dengan pemikiran saya. Banyak hal yang telah dan sedang dilakukan oleh pemerintahan yang bapak pimpin, banyak keberhasilan yang telah dicapai tetapi ada pula hal yang perlu diperbaiki, saya tidak akan menyampaikan hal yang telah dicapai tetapi hanya ingin menyampaikan hal-hal yang perlu diperbaiki (maaf kami menyebutnya kegagalan, seperti kalimat yang disampaikan media tersebut) oleh bapak presiden bersama aparat yang berwenang lainnya, hal tersebut tersebut :

1.         Kegagalan kedaulatan dan ketahanan ekonomi nasional. “Hal ini terlihat dari ketidakmampuan pemerintah dalam melindungi kekayaan alam dari eksploitasi dan penguasaan asing.

2.         Kegagalan melindungi industri kecil dan menengah dengan memberlakukan perjanjian perdagangan bebas atau Free Trade Agreement Asean-China.

3.         Kegagalan menegakkan negara hukum yang ditandai dengan kemerosotan wibawa aparatur penegak hukum serta skandal korupsi politik yang diduga melibatkan unsur-unsur yang terkait dengan pemerintah.

4.         Kegagalan mensejahterakan dan melindungi petani, buruh, nelayan, kaum miskin perkotaan dan buruh migran.

5.         Kegagalan mencerdaskan kehidupan bangsa dan menyehatkan bangsa

Bapak Presiden, demikian surat dari saya. Sebenarnya Bapak berada pada pihak yang diuntungkan dengan surat ini, surat ini sebagai konseling gratis dan bukan suara para pembual yang ongkang-ongkang terima duit dan sewa rumah dan fasilitas lainnya sedangkan kerjanya cumin tidur dan tandatangan kehadiran, tetapi surat ini dari saya untuk bapak pemimpin tertinggi Republik ini.




                                                            Ciawi, 31 Desember 2010

                                                            TTD

                                                            Alan Sutarlan

Senin, 27 Desember 2010

Kegagalan Nurdin dan Politik Adu kaki

Kegagalan Timnas Indonesia meraih angka akibat kalah 0-3 atas Malaysia pada leg pertama final AFF Suzuki Cup 2010 di Kuala Lumpur Minggu (26/12) malam adalah akibat politisasi oleh pengurus PSSI.
"Dengan melihat cara Timnas bermain dan juga mental para pemain di final leg pertama itu, jelas kekalahan ini akibat politisasi yang dilakukan pengurus PSSI yang terlalu menaruh harapan besar tanpa melihat kondisi yang sebenarnya," ujar pengamat Eddy Elison di Jakarta, Minggu (26/12).
Mantan pengurus PSSI ini memaparkan, pengurus PSSI demikian terlena dengan kemenangan-kemenangan yang telah dicapai Timnas di babak penyisihan grup hingga semifinal dan terlalu banyak mengklaim hal-hal yang hanya bersifat menguntungkan PSSI.
Saking terlena, lanjutnya, PSSI banyak membuat acara untuk Timnas seperti acara-acara seremonial dengan mengabaikan pembinaan mental pemain dan tidak memberikan fokus kepada pemain untuk mempersiapkan diri secara maksimal.
Eddy Elison menambahkan, para pemain Timnas belum cukup mental untuk menghadapi laga final dan pembinaan mental dan teknis merupakan salah satu kelemahan yang selama ini terjadi di PSSI dalam mempersiapkan tim.
"Pemain tidak perlu dibawa-bawa menghadiri berbagai macam acara, terpenting adalah bagaimana menyiapkan mental mereka. Baru saja mendapatkan kerikil kecil oleh gangguan sinar laser kok seperti sudah tidak berdaya."
"Saya tidak menentang acara pemanjatan doa, saya tidak menentang acara istighosah, dan saya tidak menentang pertemuan pemain dengan pejabat, tapi untuk sebuah Timnas yang jauh lebih penting adalah berikan mereka konsentrasi penuh mempersiapkan teknik dan mental," ujarnya.
Lebih dari itu, aspek politisasi demikian mencolok ketika PSSI menyinggung asal muasal dana yang selama ini menghidupi PSSI. Dan di sisi lain, Nurdin mengatakan skuad Timnas yang ada sekarang adalah hasil dari kompetisi Liga Super Indonesia yang dikelola PSSI sejak beberapa tahun lalu.
Eddy menyoroti peranan media elektronik (televisi) yang terlalu mengeksploitir para pemain, padahal skuad Timnas belum benar-benar teruji apalagi ketika ditambah pemain baru yang belum mengenal betul karakter dan atmosfer kompetisi di Tanah Air.
Dia mengingatkan, kemenangan-kemenangan besar yang dicapai di babak penyisihan hingga lolos ke final belum menjadi ukuran kekuatan Timnas sesungguhnya.
Dia juga mengatakan sistem pembinaan di PSSI benar-benar harus dirombak total, termasuk kepengurusannya.

"Malaysia, Thailand, maupun Vietnam, mereka baru saja tampil di Asian Games Guangzhou. Mereka sedang kelelahan dan banyak yang cedera, dan Malaysia berhasil melakukan pemulihan," katanya.
Secara khusus dia menyambung, "Saya kira sudah saatnya Nurdin Halid meletakkan jabatannya karena secara fundamental benar-benar sudah gagal dalam memajukan sepakbola di Tanah Air." (ant/ce1)

Rabu, 01 Desember 2010

UNESCO Akui Angklung Milik Indonesia

Jakarta - UNESCO secara resmi mengukuhkan angklung Indonesia ke dalam daftar representatif budaya takbenda warisan manusia (intangible cultural heritage of humanity). Artinya angklung diakui secara resmi sebagai budaya bangsa Indonesia.
"Kami yakin pengukuhan angklung ini akan memberikan dampak postif terhadap usaha perlindungan warisan budaya Indonesia di tingkat regional dan nasional," kata Dirjen Nilai Budaya, Seni dan Film, Kemenbudpar Tjetjep Suparman dalam siaran pers, Kamis (18/11/2010).
Dia menjelaskan, pengukuhan angklung ini merupakan salah satu upaya pemerintah Indonesia untuk mempertahankan dan melestarikan budaya Indonesia.
"Masyarakat Indonesia dan negara-negara tetangga akan memahami bahwa perlindungan warisan budaya merupakan suatu hal yang memungkinkan dan untuk mengukurnya bisa dilihat dari dukungan UNESCO melalui pelaksanaan konferensi ini," terangnya.
Pengesahan dilakukan pada sidang ke-5 Komite Antar-Pemerintah tentang perlindungan warisan budaya takbenda di Nairobi, Kenya. Pengesahan angklung dilakukan pada hari kedua setelah melalui proses evaluasi dan pembahasan.
"Pengesahan angklung tentu akan menarik minat para generasi muda untuk mempelajari dan memainkan angklung, terutama di institusi pendidikan yang secara khusus mengajarkan cara memainkan angklung, baik di Indonesia maupun mancanegara," terangnya.
Dia menjelaskan, pengesahan angklung ini juga diharapkan akan semakin mendukung perkembangannya sebagai warisan budaya Indonesia. Tercatat ada 132 negara yang meratifikasi konvensi UNESCO 2003 tentang perlindungan warisan budaya takbenda.

Selain angklung, UNESCO juga dalam kategori representative list telah menetapkan wayang, batik dan keris sebagai budaya Indonesia.

Jumat, 26 November 2010

Politisasi Pendidikan Indonesia?


Dalam kehidupan berbagai negara bangsa di berbagai belahan dunia, birokrasi berkembang sebagai wahana utama dalam penyelenggaraan negara dalam berbagai bidang kehidupan bangsa dan dalam hubungan antar bangsa. Birokrasi bertugas menerjemahkan berbagai keputusan politik ke dalam berbagai kebijakan publik, dan berfungsi melakukan pengelolaan atas pelaksanaan berbagai kebijakan tersebut secara operasional, efektif, dan efisisen. Oleh sebab itu, disadari bahwa birokrasi merupakan faktor penentu keberhasilan keseluruhan agenda pemerintahan, termasuk dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih atau clean government dalam keseluruan skenario perwujudan kepemerintahan yang baik (good governance).

Penyelenggaraan pemerintahan di setiap Negara dalam menjalankan fungsinya melayani kepentingan masyarakat selalu berbeda tergantung pengaruh pengalaman sejarahnya serta kondisi sosial politik Negara tersebut. Negara yang pernah mengalami masa kolonialisme pasti pada awal terbentuknya Negara memiliki corak birokrasi warisan kolonial. Begitu juga halnya dengan Indonesia.

Dalam perspektif sejarah bangsa, birokrasi di Indonesia adalah warisan kolonial yang sarat kepentingan kekuasaan. Struktur, norma, nilai, dan regulasi birokrasi yang demikian diwarnai dengan orientasi pemenuhan kepentingan penguasa daripada pemenuhan hak sipil warga negara. Dalam praktiknya, struktur dan proses yang dibangun merupakan instrumen untuk mengatur dan mengawasi perilaku masyarakat, bukan sebaliknya untuk mengatur pemerintah dalam tugasnya memberikan pelayanan kepada masyarakat. Hal ini dikarenakan misi utama birokrasi yang dibangun oleh kolonial adalah untuk mempertahankan kekuasaan dan mengontrol perilaku individu. Segala sektor dalam birokrasi dapat dijadikan alat politik bagi penguasa. Tidak terkecuali juga bidang pendidikan.

Pendidikan menjadi basis pembentukan kualitas manusia suatu bangsa. Oleh karena itu pemerintah seharusnya betul-betul memperhatikan sektor ini sebagai aset masa dpan bangsa. Namun apa yang akan terjadi jika birokrasi pendidikan telah dimasuki oleh kepentingan politik praktis??

Refleksi politisasi birokrasi masa lalu.

Menurut Bahtiar Effendy (dalam Maliki, 2000: xxvii), sejak Indonesia mempunyai perangkat birokrasi, sulit rasanya menemukan suatu periode pemerintahan yang memperlakukan birokrasi sebagai institusi yang bebas dari politik. Baik pada masa demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila, dan periode transisional sesudahnya, interplay antara politik dan birokrasi merupakan sesuatu yang jelas adanya. Pada masa Demokrasi Parlementer dan terpimpin misalnya, adanya politisasi birokrasi bisa dilihat dari adanya anggapan bahwa Kementrian Pendidikan diasosiasikan dengan PNI. Sementara itu, Kementrian Agama dikaitkan dengan dengan kekuatan politik Masyumi atau NU.

Birokrasi di Indonesia, baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah, sepanjang Orde Baru kerap mendapat sorotan dan kritik yang tajam karena perilakunya yang tidak sesuai dengan tugas yang diembannya sebagai pelayan masyarakat. Sehingga apabila orang berbicara tentang birokrasi berkonotasi negatif. Birokrasi adalah lamban, urusan yang berbelit-belit, menghalangi kemajuan, cenderung memperhatikan prosedur dibandingkan substansi, dan tidak efesien.

Melihat realitas birokrasi di Indonesia, sedikit berbeda dengan pendapat Karl D. Jackson, Richard Robinson dan King menyebut birokrasi di Indonesia sebagai bureaucratic Authoritarian. Ada juga yang menyebutnya sebagai birokrasi patrimonial dengan ciri-cirinya adalah (1) para pejabat disaring atas dasar kriteria pribadi; (2) jabatan dipandang sebagai sumber kekayaan dan keuntungan; (3) para pejabat mengontrol baik fungsi politik maupun fungsi administrasi; dan (4) setiap tindakan diarahkan oleh hubungan pribadi dan politik.

Sistem birokrasi yang berlaku di Indonesia pada masa orde baru tidak dapat dilepaskan dari sejarah masa lalu dalam pemerintahan kerajaan, pemerintahan kolonial dan pemerintahan Orde Lama. Masing-masing tahap tersebut membawa corak birokrasi sendiri. Dalam zaman kerajaan dimana feodalisme menjadi landasan birokrasi maka dituntut kesetiaan dan kepatuhan sepenuhnya terhadap raja dan para punggawa kerajaan, sebagai kelompok elit pemerintahan.

Kepatuhan harus diwujudkan dengan melaksanakan segala peraturan dan perintah kerajaan dan tidak untuk mempertimbangkan untung rugi dan dampaknya. Sikap atau perilaku yang demikian dibarengi dengan timbulnya perasaan dan kepercayaan rakyat bahwa pihak kerajaan akan melindungi para kawula dari segala macam gangguan dan ancaman. Timbullah hubungan ketergantungan, pelindung dan yang dilindungi. Hubungan demikian oleh James Scott dikategorikan sebagai "patronclient relationship" (dalam Ismani, 2001: 35). Dalam birokrasi timbul hubungan "bapak-anak buah” secara khusus sebagaimana berlaku di Indonesia setelah kemerdekaan.

Politisasi Birokrasi Era Reformasi

Setelah reformasi bergulir, usaha untuk melepaskan birokrasi dari kekuatan dan pengaruh politik gencar dilakukan. Kesadaran pentingnya netralitas birokrasi mencuat terus-menerus. BJ Habibie, Presiden saat itu, mengeluarkan PP Nomor 5 Tahun 1999 (PP No.5 Tahun 1999), yang menekankan kenetralan pegawai negeri sipil (PNS) dari partai politik. Aturan ini diperkuat dengan pengesahan UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian untuk menggantikan UU Nomor 8 Tahun 1974.

Publik mengharapkan bahwa dengan terjadinya Reformasi, akan diikuti pula dengan perubahan besar pada desain kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, baik yang menyangkut dimensi kehidupan politik, sosial, ekonomi maupun kultural. Perubahan struktur, kultur dan paradigma birokrasi dalam berhadapan dengan masyarakat menjadi begitu mendesak untuk segera dilakukan mengingat birokrasi mempunyai kontribusi yang besar terhadap terjadinya krisis multidimensional yang tengah terjadi sampai saat ini. Namun, harapan terbentuknya kinerja birokrasi yang berorientasi pada pelanggan sebagaimana birokrasi di Negara–negara maju tampaknya masih sulit untuk diwujudkan.

Osborne dan Plastrik (1997) mengemukakan bahwa realitas sosial, politik dan ekonomi yang dihadapi oleh Negara–negara yang sedang berkembang seringkali berbeda dengan realitas sosial yang ditemukan pada masyarakat di negara maju. Realitas empirik tersebut berlaku pula bagi birokrasi pemerintah, dimana kondisi birokrasi di Negara–negara berkembang saat ini sama dengan kondisi birokrasi yang dihadapi oleh para reformis di Negara–negara maju pada sepuluh dekade yang lalu.

Persoalan birokrasi di Negara berkembang, seperti merajalelanya korupsi, pengaruh kepentingan politik partisan, sistem Patron-client yang menjadi norma birokrasi sehingga pola perekrutan lebih banyak berdasarkan hubungan personal daripada faktor kapabilitas, serta birokrasi pemerintah yang digunakan oleh masyarakat sebagai tempat favorit untuk mencari lapangan pekerjaan merupakan sebagian fenomena birokrasi yang terdapat di banyak Negara berkembang, termasuk di Indonesia.

Kecenderungan birokrasi untuk bermain politik pada masa reformasi, tampaknya belum sepenuhnya dapat dihilangkan dari kultur birokrasi di Indonesia. Perkembangan birokrasi kontemporer memperlihatkan bahwa arogansi birokrasi sering kali masih terjadi. Kasus Brunei Gate dan Bulog Gate setidak–tidaknya memperlihatkan bahwa pucuk pimpinan birokrasi masih tetap mempraktikkan berbagai tindakan yang tidak transparan dalam proses pengambilan keputusan. Birokrasi yang seharusnya bersifat apolitis, dalam kenyataannya masih saja dijadikan alat politik yang efektif bagi kepentingan– kepentingan golongan atau partai politik tertentu. Terdapat pula kecenderungan dari aparat yang kebetulan memperoleh kedudukan atau jabatan strategis dalam birokrasi, terdorong untuk bermain dalam kekuasaan dengan melakukan tindak KKN.

Mentalitas dan budaya kekuasaan ternyata masih melingkupi sebagian besar aparat birokrasi pada masa reformasi. Kultur kekuasaan yang telah terbentuk semenjak masa birokrasi kerajaan dan kolonial ternyata masih sulit untuk dilepaskan dari perilaku aparat atau pejabat birokrasi. Masih kuatnya kultur birokrasi yang menempatkan pejabat birokrasi sebagai penguasa dan masyarakat sebagai pengguna jasa sebagai pihak yang dikuasai, bukannya sebagai pengguna jasa yang seharusnya dilayani dengan baik, telah menyebabkan perilaku pejabat birokrasi menjadi bersikap acuh dan arogan terhadap masyarakat.

Politisasi birokrasi pada masa era oreformasi sudah menandai 100 hari kerja kabinet Gus Dur. Kasus di Departemen Kehutanan menjadi salah satu buktinya. Dalam kasus itu, Menteri Kehutanan yang juga ketua Partai Keailan mengangkat sekjen yagn jelas-jelas dipertanyakan visinya tentang tugas-tugas kementrian ini. Sekjen yang direkrut itu dinilai juga tidak memenuhi ketentuan administrasi kepegawaian, antara lain melewati batas usia yang ditentukan. Pertimbangan ini hanya diambil atas alasan bahwa dia adalah seorang deklarator partai yang dipimpin Menhut. Pembentukan kabinet ini dinilai banyak orang lebih sebagai kabinet ”trima kasih”, sehingga kemudian mudah dipahami mengapa Gus Dur mendukung kebijakan Menhut.

Aturan induk netralitas politik birokrasi Indonesia sudah ada pada pasal 4 Peraturan Pemerintah/1999, yang menyatakan bahwa PNS dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan tidak bertindak diskriminatif, khusunya dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pada masa reformasi ini juga sepat terjadi kekhawatiran akan adanya ”penjarahan” jabatan karir profesional menjadi jabatan politik oleh kalangan parpol. Jabatan politik yang diangp tidak representaif untuk bagi-bagi kekuasaan menjadi salah satu alasan. Posisi yang dilirik adalah pada tingkat eselon 1 dan 2 di tiap departemen. Dapat dibayangkan apa jadinya jika jabatan birokrasi tersebut diisi oleh orang-orang politik yang sarat dengan berbagai kepentingan politiknya. Seharusnya jabaan-jabaan itu diisi oleh orang yang memang ahli di bidangnya. Belum lagi persoalan tarik-menarik kepentingan di dalam tubuh birokrasi itu sendiri. Aparat birokrasi yang berada di bawahnya akan seakin terfragentasi oleh kepentingan politik yang berbeda. Jika ini terjadi, birokrasi bukan lagi sebagai lembaga pelayan publik karena disibukkan dengan aktifitas politik di dalamnya.

Dengan masuknya kepentingan-kepentingan politik dalam tubuh birokrasi, maka praktek-praktek KKN pun akan semakin merajalela. Praktek KKN itu akan dibenarkan selama menguntungkan partai politik pemegang kekuasaan saat itu. Hal ini yang akan semakin merusak mentalitas birokrasi kita.

Jika politisasi pendidikan, apa yang akan trjadi?

Terminologi politisasi pendidikan memiliki banyak arti dan pengertian, namun yang dimaksud adalah menguasai aneka jabatan di lingkungan Departemen Pendidikan oleh partai politik sehingga kebijakan pendidikan yang diambil berpotensi dibumbui dengan kepentingan partai politik tertentu. Politisasi pendidikan merupakan salah satu upaya memperluas kiprah para politisi dalam jabatan eksekutif pada berbagai departemen dan kementerian pemerintah. Tegasnya, jabatan eselon satu seperti direktur jenderal (Dirjen), sekretaris jenderal (Sekjen), inspektur jenderal (Irjen), dan sebagainya, diusahakan untuk menjadi jabatan politik; yaitu suatu jabatan yang diisi oleh orang-orang politik.

Beberapa politisi sekarang ini sedang mengupayakan agar eselon satu dapat diformalkan menjadi jabatan politik melalui perubahan UU No.43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU No.8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Upaya memformalkan eselon satu menjadi jabatan politik tentu berlaku untuk semua departemen, tidak terkecuali Departemen Pendidikan. Itu berarti para pemimpin Departemen Pendidikan secara langsung akan dikuasai para politisi atau orang-orang politik yang tidak ada jaminan menguasai tugas-tugas keeksekutifannya. Dan ketika itu sudah terjadi, itu berarti, setidaknya, enam pejabat eselon satu diisi oleh orang-orang politik; yaitu jabatan direktur jenderal manajemen pendidikan dasar dan menengah (Mandikdasmen), direktur jenderal pendidikan tinggi (Dikti), direktur jenderal pendidikan formal dan informal (PNFI), Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK), Sekretaris Jenderal Depdiknas, dan Inspektur Jenderal Depdiknas. Apabila di antara menteri, Dirjen, Sekjen, dan Irjen tersebut -meskipun orang politik- memiliki kualifikasi dalam memimpin departemen serta kapabilitas dalam bekerja, kiranya tidak banyak menimbulkan masalah. Tetapi, jika yang mengisi jabatan tersebut adalah orang-orang yang tidak berkualifikasi dan tidak memiliki kapabilitas yang memadai, rusaklah bangunan pendidikan yang dengan susah payah telah kita susun selama bertahun-tahun.

Ilustrasi konkretnya: seorang Dirjen Mandiknasmen bisa memberlakukan kurikulum yang dianggap baik secara politis meskipun tidak baik secara akademis. Melalui kurikulum tersebut, anak didik secara sadar atau tidak sadar bisa diajarkan doktrin-doktrin yang ujung-ujungnya hanya menguntungkan partai politiknya.

Dirjen Dikti pun demikian. Dengan peraturan yang diciptakan, bukan tidak mungkin para dosen dan mahasiswa yang mempunyai latar belakang politik sama dengan dirinya akan mendapatkan lebih banyak kemudahan dibandingkan dengan dosen dan mahasiswa lain pada umumnya.

Bagaimana dengan Dirjen PMPTK yang ''menguasai" guru sekolah di Indonesia? Sama saja! Dengan penyediaan fasilitas dan pelayanan yang menggiurkan, maka akan banyak guru TK, SD, SMP, SMA, dan SMK yang dapat ''diarahkan" menuju kepentingan politik tertentu. Pendidikan adalah guru. Artinya, kalau guru dapat dikuasai, itu sama saja dengan seseorang tersebut telah menguasai pendidikan di negeri ini.

Seandainya pejabat eselon satu adalah orang-orang politik dari partai yang sama dan masih bekerja kompak pun sangat berpotensi merusak bangunan pendidikan nasional. Apalagi kalau para pejabat tersebut berasal dari partai yang berbeda, apalagi tidak kompak sebab sifat paternalisme rakyat Indonesia relatif sangat tinggi sampai sekarang ini. Artinya, afiliasi politis mereka cenderung ''mengekor" pemimpinnya. Hal ini juga akan terjadi di lingkungan Departemen Pendidikan meski ada aturan seorang PNS tidak boleh bermain politik praktis.

Bayangkan saja; kalau pejabat di Departemen Pendidikan nanti berasal dari partai politik yang berbeda, maka para staf dan karyawan akan terpecah belah ke berbagai kelompok dengan afiliasi politik yang berbeda pula.ini akan berimplikasi pada kualitas pelayanan terhadap civitas akademika.

Hal yan perlu diperhatikan adalah mencegah upaya politisasi pendidikan demi kelompok tertentu. Kebijakan pemerintah di bidang pndidikan tetap merupakan kebijakan politik. Namun persoalannya adalah bagaimana agar kebijakan itu dibuat dalam kerangka kemauan politik demi terciptanya arus pengetahuan dan informasi lebih terbuka. Perselingkuhan antara kekuasaan-kapitalisme-pendidikan perlu dicegah.

Menurut Muchlis Luddin (Suara Pembaruan, 28 April 2008: hal 14), Depdiknas menjalankan program semaunya dan cenderung berorintasi proyek. Dengan demikian, oleh elit politik, sejumlah program pendidikan dijadikan ajang kepentingan jangka pendek. Politisasi pendidikan dalam bentuk regulasi kebijakan di daerah dalam bntuk peraturan daerah yang cenderung diskriminatif dan jauh dari semangat pluralisme juga harus dihentikan. Menurut Darmaningtyas, tindakan yang memolitisasi kebijakan yang berkaitan dengan pendidikan untuk kelompok tertentu merupakan salah satu penyebab terhambatnya perkmbangan kualitas pendidikan bangsa (Media Indonesia, 13 Mei 2005; hal 6-8).

Meskipun sudah melakukan reformasi di tahun 1998 ternyata untuk melakukan suatu perubahan dalam berbirokrasi atau reformasi birokrasi adalah hal yang sangatlah sulit. Kepentingan-kepentingan partai masih saja mengintervensi birokrasi pemerintahan di Indonesia. Implikasi dari adanya politisasi birokrasi, pelayanan yang sarat dengan nuansa kultur kekuasaan, publik menjadi pihak yang paling dirugikan.

Kultur kekuasaan dalam birokrasi yang dominan membawa dampak pada terabaikannya fungsi pelayanan birokrasi sebagai abdi masyarakat. Pada tataran tersebut sebenarnya berbagai praktik penyelewengan yang dilakukan oleh birokrasi terjadi tanpa dapat dicegah secara efektif. Karena masih melekatnya budaya birokrasi yang diwariskan masa orde baru, penyelewengan yang dilakukan birokrasi terhadap masyarakat pengguna jasa menjadikan masyarakat sebagai objek pelayanan yang dapat dieksploitasi untuk kepentingan pribadi pejabat ataupun aparat birokrasi.

Epilog

Perjalanan kehidupan birokrasi di Indonesia selalu dipengaruhi oleh kondisi sebelumnya. Budaya birokrasi yang telah ditanamkan sejak jaman kolonialisme berakar kuat hingga reformasi saat ini. Paradigma yang dibangun dalam birokrasi Indonesia lebih cenderung untuk kepentingan kekuasaan. Hal ini lah yang terjadi pula pada dunia pendidikan. Politisasi birokrasi pendidikan masih terjadi pada reformasi ini.

Carut marutnya pendidikan nasional tercermin dari tidak adanya blueprint yang menjadi komitmn bersama antara lembaga Kepresidenan dengan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Arah pendidikan Indonesia berjalan tanpa landasan falsafah yan jelas, sehingga menyebabkan kekacauan. Ini disebabkan karena terlalu kuatnya kehendak intervnsi politis dalam soal pendidikan, sehingga dunia pendidikan bergantung pada interes kelompok penguasa.

Sebenarnya penguatan atau ”penaklukan” birokrasi bisa saja dilakukan, dengan catatan bahwa penaklukan tersebut didasarkan atas itikad baik untuk merealisasikan program-program yang telah ditetapkan pemerintah. Namun sayangnya, penaklukan ini hanya dipahami para pelaku politik adalah untuk memenuhi ambisi dalam memupuk kekuasaan.

Indonesia Menuju Kebangkrutan


Tanpa penanganan yang benar, Indonesia di masa depan akan menjadi sejarah. Saat ini, kita sedang berada di depan pintu “kebangkrutan”, sesuatu yang bukan lagi lelucon murahan tapi sudah sangat nampak di depan mata kita. Meskipun data-data pemerintah mencoba menawarkan optimisme, namun fakta kembali tidak dapat menutupi pesimisme mengenai masa depan Indonesia di bawah kendali rejim neoliberal.
Ancaman Utang Luar Negeri
Sampai saat ini, pemerintah belum bisa menutupi kekhawatiran kita mengenai dampak penumpukan utang luar negeri. Menurut pemerintah, seperti disampaikan Menkeu Sri Mulyani, rasio utang luar negeri terhadap PDB terus menurun. Kalau pada 2000 rasio utang terhadap PDB mencapai 89% maka pada 2004 turun menjadi 57% dan pada akhir 2008 menjadi 33%. Diperkirakan, pada 2009 turun menjadi 32%.
Penurunan rasio ini, seperti diakui pemerintah, didorong oleh peningkatan dalam nilai PDB kita. Masalahnya, perhitungan PDB Indonesia merujuk output/produksi ekonomi nasional, termasuk yang dihasilkan perusahaan maupun tenaga kerja asing. Sebagian besar faktor pendorong penambahan PDB itu adalah sumbangan pihak asing yang bekerja di Indonesia.
Jika dihubungkan dengan PNB (Produk Nasional Bruto), maka nilai penambahan PDB jauh melampaui PNB. Menurut data BPS pada tahun 2005, sebagai contoh, PDB berjumlah Rp 2.729,7 triliun, sedangkan PNB Rp 2.644,3 triliun. Dengan selisih yang sangat besar, skema ini menunjukkan masih kuatnya pengaruh pengerukan sumber daya oleh kekuatan imperialis di Indonesia.
Fakta lainnya, meskipun rasio utang terhadap PDB menurun, namun stock utang justru terus meningkat dalam empat tahun terakhir. Tahun 2004, total utang pemerintah jika dirupiahkan Rp 1.295 triliun, sedangkan total utang negara per Maret 2009 mencapai Rp1.700 triliun. Ada peningkatan sekitar 30% dalam lima tahun ini.
Sebagian dari utang ini akan jatuh tempo dalam waktu dekat, dan ini tentu sangat berbahaya bagi Indonesia yang 16% APBN-nya dipakai untuk menutupi pinjaman utang luar negeri. Belum lagi, krisis ekonomi global berpotensi mendorong pemerintah AS menerbitkan surat obligasi berbungan tinggi, sehingga Indonesia harus membayar jumlah bunga yang lebih tinggi dibanding pada saat penawaran. Artinya, keberhasilan pemerintah menurunkan rasio utang terhadap PDB hanyalah prestasi bias, sebab tidak didukung oleh fakta konkret.
Konsumsi Dibiayai Utang
Masalah lainnya adalah jatuhnya kemampaun masyarakat untuk berkonsumsi. Ada kontradiksi konstan antara pertumbuhan cepat dari kekuatan produksi dan kemampuan massa untuk mengkonsumsi. Tentu saja ada iklan, sistem kredit, dan usaha lain untuk mempromosikan konsumerisme, semua itu terjadi, tetapi tidak selalu bekerja dengan baik.
Jika kita memperhatikan tolak ukur kemampuan konsumsi masyarakat, yaitu indeks penjualan ritel (IPR) dan Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK), memang masih terjadi pertumbuhan. AC Nielsen, misalnya, masih memprediksikan sektor ritel nasional bakal tumbuh 15 persen. Akan tetapi, setelah diperiksa dengan baik, pemicu pertumbuhan konsumsi ini adalah kredit (utang).
Hampir seluruh konsumsi masyarakat kini, baik kelas menengah maupun miskin, dibiayai melalui utang. Berdasarkan data Bank Indonesia per November 2008, pertumbuhan kredit konsumsi tumbuh 32,03 persen menjadi Rp 275,7 triliun jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Di tahun 2009, pertumbuhan kredit konsumsi semakin menggila, yaitu sebesar Rp110,8 triliun atau 41,5% menjadi Rp377,9 triliun.
Untuk kalangan bawah, konsumsi dibiayai oleh program sosial neoliberal, diantaranya BLT, PNPM, KUR, Biaya Operasional Sekolah, dsb, melalui skema pinjaman luar negeri. Bahkan, kenaikan gaji anggota TNI/Polri sebesar 5% juga dibiayai melalui tambahan utang di APBN.
Jadi, kenaikan konsumsi masyarakat bukan karena perbaikan daya beli, ataupun pendapatan: upah, laba, dan sewa. Pendapatan rakyat mayoritas, seperti pekerja, petani, UKM, terus mengalami penurunan signifikan akhir-akhir ini.
Pengangguran dan Sektor Informal Berkembang Pesat
Menurut data, hingga februari 2009, jumlah mereka yang bekerja di sector informal sudah mencapai 70 juta orang, atau 70% dari total angkatan kerja. Ini berarti sebagian besar rakyat kita tidak lagi bekerja di sector ekonomi yang diorganisasikan oleh Negara, melainkan hidup dari ekonomi jalanan dan perekonomian gelap.
Ini bertentangan dengan semangat konstitusi dasar (UUD 1945), bahwa tiap warga Negara berhak mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak. Dengan demikian, kegagalan Negara dalam memberikan lapangan pekerjaan yang layak kepada 70%, dapat dipandang sebagai manifestasi inskonstitusiona. Bukankah Negara tanpa hukum adalah anarki.
Bagi kapitalisme, pengangguran merupakan solusi parsial, asalkan tidak begitu tinggi dan mengancam revolusi sosial. Mengapa? Karena, selama ada pengangguran, maka kapitalis dapat menahan atau melemahkan pekerja dalam negosiasi upah, menekan serikat buruh, dan menurunkan daya tawar buruh di pasar tenaga kerja. Harus disadari, bahwa ancaman PHK merupakan salah satu mekanisme kapitalis untuk mendisiplinkan kelas pekerja.
Tingkat pengangguran yang sangat tinggi, bukan sekedar menjadi persoalan sosial, tetapi juga sangat berpengaruh terhadap tingkat permintaan terhadap output produksi para kapitalis. Harus disadari, bahwa nilai surplus dapat diperoleh melalui rangkaian produksi dan terwujud di dalam komoditi itu sendiri. Sedangkan profit (keuntungan) hanya dapat diperoleh setelah melalui sirkulasi (terjual di atas biaya produksi). Dengan demikian, tingkat keuntungan sangat dipengaruhi oleh tingkat permintaan, atau biasa disebut oleh para Keynesian sebagai “permintaan efektif”. Semakin banyak penganggur dan berpendapatan rendah, maka menurut Josef Steindl, Paul Baran, Paul Sweezy, tingkat permintaan akan sangat merosot karena proporsi terbesar dari konsumsi masyarakat adalah konsumsi kelas pekerja dan kalangan bawah.
Dampaknya lebih jauh adalah efek kelebihan produksi , khususnya industry di dalam negeri, sehingga semakin mempercepat proses de-industrialisasi. Ada kontradiksi konstan antara pertumbuhan cepat dari kekuatan produksi dan kemampuan massa untuk mengkonsumsi. Tentusaja ada iklan, sistem kredit, dan usaha lain untuk mempromosikan konsumerisme, semua itu terjadi, tetapi tidak selalu bekerja dengan baik.
Kebijakan neoliberal yang begitu deras dalam dekade terakhir, khususnya di bawah pemerintahan SBY, turut berkontribusi kepada meningkatnya gejolak de-industrialisasi di dalam negeri. Pada triwulan ketiga 2009, pertumbuhan industry hanya mencapai 1,3 persen, tak sampai sepertiga pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) yang mencapai 4,2 persen.
Di bawah kapitalisme, industry merupakan salah satu lapangan tempat mengolah dan menghasilkan keuntungan (profit). Jika benar, Negara adalah organisasi kelas tertentu, dalam hal ini Negara kapitalis, maka Negara seperti Indonesia ini sebetulnya sudah bangkrut. Sebab, negeri ini tidak lagi sanggup menyediakan “mesin” pencipta profit bagi kapitalis Indonesia, dalam hal ini adalah Industri.
Semakin banyak pengangguran dan sektor informal, semakin sedikit kelompok pembayar pajak untuk Negara. Apalagi, di Indonesia, pendapatan di bawah 5 juta per-bulan tidak kena pajak. Ini malapetaka bagi Indonesia, sebuah Negara yang 80% penerimaan APBN-nya digenjot dari setoran pajak.
Sumber Daya Dijarah Asing
Dengan sumber daya alam yang melimpah, mengutip Bung Karno, seharusnya itu menjadi bagian dari jembatan emas untuk mensejahterakan rakyat Indonesia. Sumber daya alam itu telah menjadi syarat-syarat kemajuan bagi Indonesia: Indonesia adalah penghasil biji-bijian terbesar ke-6 di dunia, penghasil beras ke-3 di dunia setelah China dan India, penghasil teh terbesar ke-6 di dunia, penghasil kopi terbesar ke-4 di dunia, dan penghasil coklat terbesar ke-3 di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana.
Juga penghasil terbesar minyak sawit dunia, penghasil karet alam kedua, penghasil cengkeh terbesar, penghasil tembaga ketiga setelah Cili dan AS, penghasil timah kedua dunia, penghasil nikel ke-6, penghasil emas ke-8 dunia, penghasil natural gas keenam, serta penghasil batubara ke-9 dunia.
Namun, di bawah rejim neoliberal, seperti para kolonialisator dulu, semua syarat-syarat kemajuan itu telah diserahkan kepada pihak asing, kemudian rakyat kita harus membeli kembali dengan harga lebih mahal. Sekarang ini, pihak asing sudah menguasai 80-90% pengelolaan migas kita, dan hampir 100% perusahaan tembaga dan energy adalah perusahaan asing.
Bersamaan dengan itu, kepemilikan asing di sector perbankan juga sudah mencapai 60%, sebuah posisi yang cukup dominan dalam mengarahkan perbankan.
Semua itu dimungkinkan oleh UU Penanaman Modal yang baru, sebuah persembahan terbaik SBY kepada tuan-tuannya (imperialis), sebab mengijinkan kepemilikan asing terhadap asset nasional hingga 99%. Akibat dari semua itu, Mulai dari telekomunikasi, angkutan laut, migas, mineral, sumber daya air, perkebunan sawit, hingga sektor pendidikan, kesehatan (medis), ritel, dan industri lain. Sekitar 75 persen pasar garmen nasional dikuasai asing. Bahkan jarum jahit, sandal jepit, pangan seperti daging, susu, kedelai, jagung, gula, sayur-sayuran, buah-buahan, hingga garam pun impor.
Meskipun memiliki hamparan sawah yang sangat luas, Indonesia justru masuk dalam daftar pengimpor beras di dunia. Begitu pula dengan kebutuhan gula, tiap tahunnya kita mengimpor 30% kebutuhan gula nasional, padahal kita pernah menjadi eksportir gula semenjak jaman kolonial dulu. Indonesia juga mengimpor 45% dari kebutuhan kedelai, 10% kebutuhan jagung, 15% kebutuhan kacang tanah dan 70% kebutuhan susu.
Indonesia Sebagai Negara Diambang Kebangkrutan
Negara adalah adalah organ kekuasaan kelas, dalam hal ini Negara adalah alat penindasan kelas berkuasa. Ini merupakan kesimpulan tidak terbantahkan. Bankrutnya Negara Indonesia bukan berarti bahwa saya sedang menangisi hilangnya sebuah organisasi penindasan, tidak sama sekali.
Terbentuknya Negara Indonesia karena hasil perjuangan anti-kolonial. Ini merupakan kesimpulan tak terbantahkan. Aspek penting dari perjuangan anti-kolonial adalah persatuan kepentingan berbagai klas (borjuis kecil progressif, pekerja, petani) melawan kapitalis penjajah.
Karena itu, seperti dijelaskan oleh Michael Kalecki, seorang ekonom progressive terkenal, Negara paska kolonial selalu menegaskan kebijakan yang relatif independen dan mandiri dari negeri-negeri penjajah (imperialis). Dalam hal ini, Kalecki menyebutkan dua ciri bagi Negara paska kolonial; mengutamakan sektor publik dan non-blok (tidak memihak).
Sektor publik, yang dibangun oleh sebagian besar Negara dunia ketiga bekas jajahan dengan bantuan Soviet, adalah benteng untuk menghadapi negeri-negeri imperialis. Itu digunakan untuk membangun basis industry di dalam negeri, mencapai kemandian teknologi, mengembangkan skill-dasar ekonomi, dan untuk menyediakan pengaturan bagi kapitalisme domestic, termasuk di dalamnya borjuis nasional, produsen kecil, pemilik agro bisnis, dsb. Disamping itu, sektor public juga menjadi mekanisme bagi Negara nasional untuk memberi perlindungan khusus bagi kesejahteraan rakyatnya—pekerja, petani, dan kaum miskin lainnya. Inilah elemen progressif dari Negara dunia ketiga.
Sedangkan prinsip non-blok, pada prakteknya, diperlukan oleh Negara bekas jajahan untuk menciptakan jarak terpisah jauh dengan Negara imperialis, namun tetap membuka pintu bagi Uni Sovyet dan camp anti-imperialis. Indonesia pernah menjadi deklarator gerakan non-blok pada tahun 1950-an.
Di dalam praktiknya, imperialisme selalu menyerang kedua ciri kebijakan negeri bekas jajahan ini, dan terutama sekali yang pertama. Segera, terutama di bawah neoliberalisme, negeri imperialis mendiskreditkan setiap bentuk kebijakan publik, mempromosikan privatisasi. Masuknya neoliberalisme, seperti dicatat Alvaro Garcia Linera, wakil presiden Bolivia saat ini, disertai dengan penyusutan dan deformasi negara, terutama aspek negara yang baik-buruknya berhubungan dengan konsep kolektif atau ide-ide kesejahteraan. Neo-liberalisme bertujuan menghancurkan pengertian negara sebagai kolektif atau penjamin kesejahteraan, demi menerapkan tipe ideologi korporat yang menyerukan pengambil-alihan dan penjarahan kekayaan kolektif yang diakumulasikan berkali-kali oleh dua, tiga, empat, atau lima generasi.
Jadi, sekali lagi, yang saya hendak tegaskan, bahwa Indonesia yang sedang berada di ambang kebangkrutan adalah Indonesia hasil perjuangan anti-kolonial, sebuah negeri hasil perjuangan pembebasan nasional selama berates-ratus tahun. Yang menghancurkan bukan saja imperialisme, tetapi sebuah kelompok politik, teknokrat, dan kaum liberal (aktivis, seniman, penulis, dll) pemuja dunia pertama-imperialisme.
*) Rudi Hartono adalah peneliti di Lembaga Pembebasan Media Ilmu Sosial (LPMIS), Pemimpim Redaksi Berdikari Online, dan pengelola Jurnal Arah Kiri.

sumber : ekonomi.kompasiana.com