Mendengar berbagai diskusi tentang
karakter bangsa Indonesia saat ini selalu saja diidentikkan dengan konsumerisme
dan bangsa pemalas. Minimalnya produk industri Indonesia serta membanjirnya
produk asing di negeri ini menjadi justifikasi akan statement tersebut.
Ditambah pelajar-pelajar yang hobinya nongkrong seakan berada dalam dunia
mimpi. Belum lagi saat menyusuri jalan-jalan perkotaan tiada sudut tanpa
pengamen dan pengemis.
Ternyata hal ini
tidak saja dipertontonkan oleh kaum muda dan kaum prasejahtera negeri ini. Para
elit pejabatpun tak kalah memberikan pembenaran akan jati diri bangsa yang
rendah itu. Semua orang telah sukses dipertontonkan aksi malas anggota
legislatif yang tukang tidur dan suka nonton video porno di kala membahas
agenda tentang rakyat yang diwailinya. Tak diragukan lagi hal ini menambah
daftar degradasi karakter bangsa ini.
Lalu benarkah
bangsa Indonesia yang terlahir atas pertumpahan darah dan rentetan sejarah
pemberontakan adalah bangsa konsumtif dan pemalas? Ataukah ini hanya sebuah
stereotip buruk yang sengaja dibuat untuk menjatuhkan mental berjuang bangsa
ini yang sebenar-benarnya?
Bila mengacu pada
sejarah negeri, yang dahulunya dikenal sebagai nusantara, kita akan terpukau
akan kejayaan kerajaan-kerajaan seperti Majapahit dan Sriwijaya pada abad ke-7
dan ke-14. Kekuasaan nusantara dahulunya merambah hingga Semenanjung
Melayu dan sebagian Filipina. Apakah mungkin prestasi ini dicapai dengan
kemalasan dan konsumerisme yang kerap kali menghantui telinga kita. Tentu
tidak. Sejarah kita bukan sejarah pemalas, melainkan justru terdiri dari
torehan pejuang dan pemberani.
Saya rasa kita
tidak akan lupa dengan lagu ‘nenek moyangku seorang pelaut’ yang masih kerap
diperdengarkan di telinga kita kala kecil. Itu bukan sebuah pengiring dongeng
fiksi atau pembohongan bagi anak-anak bangsa. Itu sebuah realita karakter
bangsa ini yang pemberani. Hal ini telah dibuktikan oleh seorang peneliti
mancanegara Robert Dirk Read dalam penelitiannya (Buku yang berjudul The
Phantom Voyager: Evidence of Indonesian settlement in Africa in Ancient Times),
mengungkapkan bukti-bukti bahwa para pelaut nusantara telah menaklukan samudra
jauh sebelum bangsa Eropa, Arab dan Cina memulai penjelajahan bahari mereka.
Sejak abad ke-5 M para pelaut Nusantara telah mampu menyebrangi samudra Hindia
hingga mencapai Afrika (source : kaskus).
Bila karakter
bangsa kita terdahulu adalah pejuang dan pemberani. Dan nusantara (sebutan
sebelum istilah Indonesia) dulunya adalah negeri yang diakui dan ditakuti di
dunia. Lalu, apakah karakter kita saat ini karena adanya pernikahan antar
bangsa?
Mungkin itu
adalah pertanyaan yang cukup lateral dan kita belum bisa membantah atau
menjawabnya iya atau tidak. Yang mungkin bisa kita renungkan saat ini adalah
regulasi negeri kita yang masih saja kurang memihak pada peningkatan
kreatifitas dan inovasi generasi masa kini.
Bila di negeri
ini selalu saja dibanjiri produk elektronik asing yang selalu saja laris
diserbu oleh rakyat kita, itu bukan sepenuhnya salah. Tentunya dengan aktor
intelektual negeri ini yang sekolah tinggi di universitas tehknik bukanlah
sesuatu hal yang sulit untuk menciptakan handphone dengan berbagai inovasinya.
Namun, apakah memang regulasi kita telah mendukung bagi mereka yang mau
merekonstruksi pemikirannya dalam bentuk telepon genggam yang canggih.
Baru-baru ini
saya mendengar berita tentang salah satu SMK di Indonesia sukses merakit mobil
mewah seharga 140 juta rupiah yang belum pernah dibuat sebelumnya. Masih berani
bilang bangsa kita pemalas atau konsumtif?
Atau mungkin
teman-teman juga pernah dengar mobil buatan mahasiswa tehknik ITB yang membuat
mobil dengan tenaga surya.
Bangsa kita telah
tergerus arus sistem dan regulasi yang memendam semangat kreatifitas dan
inovasi masyarakat kita. Dan, sayangnya ini lebih banyak dilakukan oleh bangsa
sendiri.
Bukan saatnya
lagi kita merasa minder dengan bangsa lain. Kita punya masa lalu yang masif.
Tinggal bagaimana kita bisa menggugat regulasi yang tidak berpihak terhadap
bangsa ini dan mulai membangun kembali jati diri bangsa.
Bila dahulu pada
masanya Soekarno berusaha untuk membangun monas. Itu bukan sekedar membangun
sebuah monumen semata yang hanya bertujuan gaya-gayaan. Melainkan Soekarno
ingin membangun rasa percaya diri dan semangat kecintaan akan bangsa. Karena
beliau percaya bahwa kondisi bangsa bekas jajahan tentu perlu pemulihan masif.
Bung Karno tidak
ingin bangsa ini selalu merangkak, menunduk, dan bahkan berlutut dihadapan
bangsa dan negeri Eropa. Monas ingin dijadikan sebagai pembangkit semangat dan
kepercayaan diri serta awal dari perjuangan untuk berani tegak berdiri untuk
mencapai kemerdekaan yang sebenar-benarnya.
Kita sudah punya
monas, dan negeri ini kita telah lebih dari sekedar ketinggian monas. Mari kita
lanjutkan perjuangan kita sebagai bangsa yang berani dan bersemangat juang
tinggi. Kobarkan kembali semangat dan hilangkan stereotip pemalas dan konsumtif
dari jagad raya Indonesia. Merdeka!!!