Jumat, 23 Desember 2011

KITA BISA, KITA MAMPU MARI KITA BUKTIKAN !


Mendengar berbagai diskusi tentang karakter bangsa Indonesia saat ini selalu saja diidentikkan dengan konsumerisme dan bangsa pemalas. Minimalnya produk industri Indonesia serta membanjirnya produk asing di negeri ini menjadi justifikasi akan statement tersebut. Ditambah pelajar-pelajar yang hobinya nongkrong seakan berada dalam dunia mimpi. Belum lagi saat menyusuri jalan-jalan perkotaan tiada sudut tanpa pengamen dan pengemis.
Ternyata hal ini tidak saja dipertontonkan oleh kaum muda dan kaum prasejahtera negeri ini. Para elit pejabatpun tak kalah memberikan pembenaran akan jati diri bangsa yang rendah itu. Semua orang telah sukses dipertontonkan aksi malas anggota legislatif yang tukang tidur dan suka nonton video porno di kala membahas agenda tentang rakyat yang diwailinya. Tak diragukan lagi hal ini menambah daftar degradasi karakter bangsa ini.
Lalu benarkah bangsa Indonesia yang terlahir atas pertumpahan darah dan rentetan sejarah pemberontakan adalah bangsa konsumtif dan pemalas? Ataukah ini hanya sebuah stereotip buruk yang sengaja dibuat untuk menjatuhkan mental berjuang bangsa ini yang sebenar-benarnya?
Bila mengacu pada sejarah negeri, yang dahulunya dikenal sebagai nusantara, kita akan terpukau akan kejayaan kerajaan-kerajaan seperti Majapahit dan Sriwijaya pada abad ke-7 dan ke-14. Kekuasaan nusantara dahulunya merambah hingga Semenanjung Melayu  dan sebagian Filipina. Apakah mungkin prestasi ini dicapai dengan kemalasan dan konsumerisme yang kerap kali menghantui telinga kita. Tentu tidak. Sejarah kita bukan sejarah pemalas, melainkan justru terdiri dari torehan pejuang dan pemberani.
Saya rasa kita tidak akan lupa dengan lagu ‘nenek moyangku seorang pelaut’ yang masih kerap diperdengarkan di telinga kita kala kecil. Itu bukan sebuah pengiring dongeng fiksi atau pembohongan bagi anak-anak bangsa. Itu sebuah realita karakter bangsa ini yang pemberani. Hal ini telah dibuktikan oleh seorang peneliti mancanegara Robert Dirk Read dalam penelitiannya (Buku yang berjudul The Phantom Voyager: Evidence of Indonesian settlement in Africa in Ancient Times), mengungkapkan bukti-bukti bahwa para pelaut nusantara telah menaklukan samudra jauh sebelum bangsa Eropa, Arab dan Cina memulai penjelajahan bahari mereka. Sejak abad ke-5 M para pelaut Nusantara telah mampu menyebrangi samudra Hindia hingga mencapai Afrika (source : kaskus).
Bila karakter bangsa kita terdahulu adalah pejuang dan pemberani. Dan nusantara (sebutan sebelum istilah Indonesia) dulunya adalah negeri yang diakui dan ditakuti di dunia. Lalu, apakah karakter kita saat ini karena adanya pernikahan antar bangsa?
Mungkin itu adalah pertanyaan yang cukup lateral dan kita belum bisa membantah atau menjawabnya iya atau tidak. Yang mungkin bisa kita renungkan saat ini adalah regulasi negeri kita yang masih saja kurang memihak pada peningkatan kreatifitas dan inovasi generasi masa kini.
Bila di negeri ini selalu saja dibanjiri produk elektronik asing yang selalu saja laris diserbu oleh rakyat kita, itu bukan sepenuhnya salah. Tentunya dengan aktor intelektual negeri ini yang sekolah tinggi di universitas tehknik bukanlah sesuatu hal yang sulit untuk menciptakan handphone dengan berbagai inovasinya. Namun, apakah memang regulasi kita telah mendukung bagi mereka yang mau merekonstruksi pemikirannya dalam bentuk telepon genggam yang canggih.
Baru-baru ini saya mendengar berita tentang salah satu SMK di Indonesia sukses merakit mobil mewah seharga 140 juta rupiah yang belum pernah dibuat sebelumnya. Masih berani bilang bangsa kita pemalas atau konsumtif?
Atau mungkin teman-teman juga pernah dengar mobil buatan mahasiswa tehknik ITB yang membuat mobil dengan tenaga surya.
Bangsa kita telah tergerus arus sistem dan regulasi yang memendam semangat kreatifitas dan inovasi masyarakat kita. Dan, sayangnya ini lebih banyak dilakukan oleh bangsa sendiri.
Bukan saatnya lagi kita merasa minder dengan bangsa lain. Kita punya masa lalu yang masif. Tinggal bagaimana kita bisa menggugat regulasi yang tidak berpihak terhadap bangsa ini dan mulai membangun kembali jati diri bangsa.
Bila dahulu pada masanya Soekarno berusaha untuk membangun monas. Itu bukan sekedar membangun sebuah monumen semata yang hanya bertujuan gaya-gayaan. Melainkan Soekarno ingin membangun rasa percaya diri dan semangat kecintaan akan bangsa. Karena beliau percaya bahwa kondisi bangsa bekas jajahan tentu perlu pemulihan masif.
Bung Karno tidak ingin bangsa ini selalu merangkak, menunduk, dan bahkan berlutut dihadapan bangsa dan negeri Eropa. Monas ingin dijadikan sebagai pembangkit semangat dan kepercayaan diri serta awal dari perjuangan untuk berani tegak berdiri untuk mencapai kemerdekaan yang sebenar-benarnya.
Kita sudah punya monas, dan negeri ini kita telah lebih dari sekedar ketinggian monas. Mari kita lanjutkan perjuangan kita sebagai bangsa yang berani dan bersemangat juang tinggi. Kobarkan kembali semangat dan hilangkan stereotip pemalas dan konsumtif dari jagad raya Indonesia. Merdeka!!!