Jumat, 11 Februari 2011

Jika Aku Menjadi


malam tak bertuah, siang tanpa pesan
sinisnya hari menyapa diriku
* manusia biasa mungkin takkan sanggup
merenangi nasib gelap gulita
bentangkan hatiku Tuhan peluk aku
cinta sahabat menafkahi jiwa
o
reff:
jika aku menjadi seperti yang lain hidup bercahaya
mungkin saja aku kehilangan rasa syukur, tak tersenyum dalam damai
coba kau jadi aku, sanggupkah bernafas tanpa udara
namun ku nikmati nasib dan takdir hidup ini bila Tuhan yang mau

repeat *
repeat reff

jika aku menjadi berubah melawan garis yang tertulis
bukannya Tuhan tidak mendengar doa kita tapi Ia tahu yang terbaik
jika aku menjadi
Jika Aku Menjadi (JAM), mungkin program di salah satu TV swasta ini sudah tak asing bagi anda. Salah satu program yang menayangkan dua sisi kehidupan yang berbeda 1800, di satu sisi (HOST) datang dari kehidupan yang lebih baik atau pekerja, di sisi lain adalah masyarakat yang secara ekonomi kurang mampu, atau mungkin sangat-sangat  tidak mampu di negeri yang katanya GEMAH RIPAH LOH JINAWI TOTO TENTREM KERTO RAHARJO ini. Seperti istilah ayam mati di lumbung padi…sungguh ironi sekali. Namun itu kenyataan yang terjadi di negeri ini. Sering hati ini merasa sakit jika melihat tingkah polah orang-orang besar yang dengan seenaknya menguras dan menghabiskan uang rakyat untuk kepentingan mereka sendiri. Para elit-elit politik yang dengan arogan masih merasa kurang dan selalu kurang dengan fasilitas dan semua kemewahan yang telah dapatkan dari negara. Sudah terlalu banyak cerita-cerita yang kadang membuat kita tak habis pikir, akan menjadi apa negara kita ini jika mereka tak bisa dan tak mau berubah.
Kembali ke program tv tadi, selalu yang menjadi bintang tamu adalah orang umum. Kebanyakan dari kalangan mahasiswa. Di situ kita disuguhi tontonan dari dua masyarakat yang berbeda. Antara orang miskin dan orang kaya. Sang tuan rumah adalah orang miskin sementara tamunya adalah orang kaya. Yang akhirnya si kaya mulai sadar betapa ia sesungguhnya harus lebih bersyukur dengan nikmat yang telah didapatkannya, karena jelas di depan kepalanya si kaya melihat sebuah kehidupan yang tak pernah ia bayangkan. Sebuah perjuangan hidup yang keras dari si miskin yang terkadang hanya untuk menyambung hidup. Untuk mencukupi kebutuhan perut yang butuh makan. Bahkan si kaya disitu di ajak untuk merasakan apa yang selama ini si miskin rasakan. Disitu pula si kaya merasakan betapa sulit perjuangan yang harus dilakukan hanya untuk bertahan hidup. Betapa butuh perjuangan yang sangat keras hanya untuk mendapatkan uang dua lembar puluhan ribu. Serasa perjuangan yang tak sebanding dengan apa yang akan mereka dapatkan sebagai imbalan. Sementara uang sebesar itu tak ada artinnya bagi si kaya.
Namun akhirnya “sandiwara” selama dua atau tiga hari itu membuat si kaya sadar akan arti hidup yang sesungguhnya. Bahwa si kaya harus bersyukur dengan nikmat hidup yang dia terima dan mau berbagi dengan sesama terlebih dengan mereka, para papa.
Lepas dari ” JIKA AKU MENJADI” adalah sebuah reality show tapi banyak hal yang bisa kita pelajari, bisa kita jadikan sarana pembelajaran watak dan sikap syukur dan mau berbagi yang mungkin tak di miliki oleh sebagian orang-orang besar dan para elit politik di negeri ini.
bersukur dalam keberlimpahan,itu mudah. siapa pun bisa.
bersukur dalam keadaan sehat,itu mudah. siapapun bisa.
bersukur dalam keadaan semua orang menghormati dan menyayangi,itu mudah. siapapun bisa.
namun, biskah kita bersukur jika keadaan yang justru sebaliknya yang sedang kita alami..?
tentu,bagi siapa yang tau bahwa segala yangg datang dari-Nya adalah,baik.
baginya tak ada alasan untuk tidak bersukur.
baginya anugrah dan bencana sama saja.
miskin harta bukanlah bencana. tapi, miskin hati itulah pembawa bencana.
Marilah kita bertanya pada diri kita sendiri, sudahkah kita bersukur dari apa yang kita dapatkan hari ini? Sudah bersihkah apa yang kita dapatkan hari ini dari hal-hal yang menjadi hak orang lain? Dan marilah kita ber empati kepada orang lain, walau hanya segelas air untuk menghapus kehausan saudara-saudara kita.