Jumat, 26 November 2010

Politisasi Pendidikan Indonesia?


Dalam kehidupan berbagai negara bangsa di berbagai belahan dunia, birokrasi berkembang sebagai wahana utama dalam penyelenggaraan negara dalam berbagai bidang kehidupan bangsa dan dalam hubungan antar bangsa. Birokrasi bertugas menerjemahkan berbagai keputusan politik ke dalam berbagai kebijakan publik, dan berfungsi melakukan pengelolaan atas pelaksanaan berbagai kebijakan tersebut secara operasional, efektif, dan efisisen. Oleh sebab itu, disadari bahwa birokrasi merupakan faktor penentu keberhasilan keseluruhan agenda pemerintahan, termasuk dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih atau clean government dalam keseluruan skenario perwujudan kepemerintahan yang baik (good governance).

Penyelenggaraan pemerintahan di setiap Negara dalam menjalankan fungsinya melayani kepentingan masyarakat selalu berbeda tergantung pengaruh pengalaman sejarahnya serta kondisi sosial politik Negara tersebut. Negara yang pernah mengalami masa kolonialisme pasti pada awal terbentuknya Negara memiliki corak birokrasi warisan kolonial. Begitu juga halnya dengan Indonesia.

Dalam perspektif sejarah bangsa, birokrasi di Indonesia adalah warisan kolonial yang sarat kepentingan kekuasaan. Struktur, norma, nilai, dan regulasi birokrasi yang demikian diwarnai dengan orientasi pemenuhan kepentingan penguasa daripada pemenuhan hak sipil warga negara. Dalam praktiknya, struktur dan proses yang dibangun merupakan instrumen untuk mengatur dan mengawasi perilaku masyarakat, bukan sebaliknya untuk mengatur pemerintah dalam tugasnya memberikan pelayanan kepada masyarakat. Hal ini dikarenakan misi utama birokrasi yang dibangun oleh kolonial adalah untuk mempertahankan kekuasaan dan mengontrol perilaku individu. Segala sektor dalam birokrasi dapat dijadikan alat politik bagi penguasa. Tidak terkecuali juga bidang pendidikan.

Pendidikan menjadi basis pembentukan kualitas manusia suatu bangsa. Oleh karena itu pemerintah seharusnya betul-betul memperhatikan sektor ini sebagai aset masa dpan bangsa. Namun apa yang akan terjadi jika birokrasi pendidikan telah dimasuki oleh kepentingan politik praktis??

Refleksi politisasi birokrasi masa lalu.

Menurut Bahtiar Effendy (dalam Maliki, 2000: xxvii), sejak Indonesia mempunyai perangkat birokrasi, sulit rasanya menemukan suatu periode pemerintahan yang memperlakukan birokrasi sebagai institusi yang bebas dari politik. Baik pada masa demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila, dan periode transisional sesudahnya, interplay antara politik dan birokrasi merupakan sesuatu yang jelas adanya. Pada masa Demokrasi Parlementer dan terpimpin misalnya, adanya politisasi birokrasi bisa dilihat dari adanya anggapan bahwa Kementrian Pendidikan diasosiasikan dengan PNI. Sementara itu, Kementrian Agama dikaitkan dengan dengan kekuatan politik Masyumi atau NU.

Birokrasi di Indonesia, baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah, sepanjang Orde Baru kerap mendapat sorotan dan kritik yang tajam karena perilakunya yang tidak sesuai dengan tugas yang diembannya sebagai pelayan masyarakat. Sehingga apabila orang berbicara tentang birokrasi berkonotasi negatif. Birokrasi adalah lamban, urusan yang berbelit-belit, menghalangi kemajuan, cenderung memperhatikan prosedur dibandingkan substansi, dan tidak efesien.

Melihat realitas birokrasi di Indonesia, sedikit berbeda dengan pendapat Karl D. Jackson, Richard Robinson dan King menyebut birokrasi di Indonesia sebagai bureaucratic Authoritarian. Ada juga yang menyebutnya sebagai birokrasi patrimonial dengan ciri-cirinya adalah (1) para pejabat disaring atas dasar kriteria pribadi; (2) jabatan dipandang sebagai sumber kekayaan dan keuntungan; (3) para pejabat mengontrol baik fungsi politik maupun fungsi administrasi; dan (4) setiap tindakan diarahkan oleh hubungan pribadi dan politik.

Sistem birokrasi yang berlaku di Indonesia pada masa orde baru tidak dapat dilepaskan dari sejarah masa lalu dalam pemerintahan kerajaan, pemerintahan kolonial dan pemerintahan Orde Lama. Masing-masing tahap tersebut membawa corak birokrasi sendiri. Dalam zaman kerajaan dimana feodalisme menjadi landasan birokrasi maka dituntut kesetiaan dan kepatuhan sepenuhnya terhadap raja dan para punggawa kerajaan, sebagai kelompok elit pemerintahan.

Kepatuhan harus diwujudkan dengan melaksanakan segala peraturan dan perintah kerajaan dan tidak untuk mempertimbangkan untung rugi dan dampaknya. Sikap atau perilaku yang demikian dibarengi dengan timbulnya perasaan dan kepercayaan rakyat bahwa pihak kerajaan akan melindungi para kawula dari segala macam gangguan dan ancaman. Timbullah hubungan ketergantungan, pelindung dan yang dilindungi. Hubungan demikian oleh James Scott dikategorikan sebagai "patronclient relationship" (dalam Ismani, 2001: 35). Dalam birokrasi timbul hubungan "bapak-anak buah” secara khusus sebagaimana berlaku di Indonesia setelah kemerdekaan.

Politisasi Birokrasi Era Reformasi

Setelah reformasi bergulir, usaha untuk melepaskan birokrasi dari kekuatan dan pengaruh politik gencar dilakukan. Kesadaran pentingnya netralitas birokrasi mencuat terus-menerus. BJ Habibie, Presiden saat itu, mengeluarkan PP Nomor 5 Tahun 1999 (PP No.5 Tahun 1999), yang menekankan kenetralan pegawai negeri sipil (PNS) dari partai politik. Aturan ini diperkuat dengan pengesahan UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian untuk menggantikan UU Nomor 8 Tahun 1974.

Publik mengharapkan bahwa dengan terjadinya Reformasi, akan diikuti pula dengan perubahan besar pada desain kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, baik yang menyangkut dimensi kehidupan politik, sosial, ekonomi maupun kultural. Perubahan struktur, kultur dan paradigma birokrasi dalam berhadapan dengan masyarakat menjadi begitu mendesak untuk segera dilakukan mengingat birokrasi mempunyai kontribusi yang besar terhadap terjadinya krisis multidimensional yang tengah terjadi sampai saat ini. Namun, harapan terbentuknya kinerja birokrasi yang berorientasi pada pelanggan sebagaimana birokrasi di Negara–negara maju tampaknya masih sulit untuk diwujudkan.

Osborne dan Plastrik (1997) mengemukakan bahwa realitas sosial, politik dan ekonomi yang dihadapi oleh Negara–negara yang sedang berkembang seringkali berbeda dengan realitas sosial yang ditemukan pada masyarakat di negara maju. Realitas empirik tersebut berlaku pula bagi birokrasi pemerintah, dimana kondisi birokrasi di Negara–negara berkembang saat ini sama dengan kondisi birokrasi yang dihadapi oleh para reformis di Negara–negara maju pada sepuluh dekade yang lalu.

Persoalan birokrasi di Negara berkembang, seperti merajalelanya korupsi, pengaruh kepentingan politik partisan, sistem Patron-client yang menjadi norma birokrasi sehingga pola perekrutan lebih banyak berdasarkan hubungan personal daripada faktor kapabilitas, serta birokrasi pemerintah yang digunakan oleh masyarakat sebagai tempat favorit untuk mencari lapangan pekerjaan merupakan sebagian fenomena birokrasi yang terdapat di banyak Negara berkembang, termasuk di Indonesia.

Kecenderungan birokrasi untuk bermain politik pada masa reformasi, tampaknya belum sepenuhnya dapat dihilangkan dari kultur birokrasi di Indonesia. Perkembangan birokrasi kontemporer memperlihatkan bahwa arogansi birokrasi sering kali masih terjadi. Kasus Brunei Gate dan Bulog Gate setidak–tidaknya memperlihatkan bahwa pucuk pimpinan birokrasi masih tetap mempraktikkan berbagai tindakan yang tidak transparan dalam proses pengambilan keputusan. Birokrasi yang seharusnya bersifat apolitis, dalam kenyataannya masih saja dijadikan alat politik yang efektif bagi kepentingan– kepentingan golongan atau partai politik tertentu. Terdapat pula kecenderungan dari aparat yang kebetulan memperoleh kedudukan atau jabatan strategis dalam birokrasi, terdorong untuk bermain dalam kekuasaan dengan melakukan tindak KKN.

Mentalitas dan budaya kekuasaan ternyata masih melingkupi sebagian besar aparat birokrasi pada masa reformasi. Kultur kekuasaan yang telah terbentuk semenjak masa birokrasi kerajaan dan kolonial ternyata masih sulit untuk dilepaskan dari perilaku aparat atau pejabat birokrasi. Masih kuatnya kultur birokrasi yang menempatkan pejabat birokrasi sebagai penguasa dan masyarakat sebagai pengguna jasa sebagai pihak yang dikuasai, bukannya sebagai pengguna jasa yang seharusnya dilayani dengan baik, telah menyebabkan perilaku pejabat birokrasi menjadi bersikap acuh dan arogan terhadap masyarakat.

Politisasi birokrasi pada masa era oreformasi sudah menandai 100 hari kerja kabinet Gus Dur. Kasus di Departemen Kehutanan menjadi salah satu buktinya. Dalam kasus itu, Menteri Kehutanan yang juga ketua Partai Keailan mengangkat sekjen yagn jelas-jelas dipertanyakan visinya tentang tugas-tugas kementrian ini. Sekjen yang direkrut itu dinilai juga tidak memenuhi ketentuan administrasi kepegawaian, antara lain melewati batas usia yang ditentukan. Pertimbangan ini hanya diambil atas alasan bahwa dia adalah seorang deklarator partai yang dipimpin Menhut. Pembentukan kabinet ini dinilai banyak orang lebih sebagai kabinet ”trima kasih”, sehingga kemudian mudah dipahami mengapa Gus Dur mendukung kebijakan Menhut.

Aturan induk netralitas politik birokrasi Indonesia sudah ada pada pasal 4 Peraturan Pemerintah/1999, yang menyatakan bahwa PNS dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan tidak bertindak diskriminatif, khusunya dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pada masa reformasi ini juga sepat terjadi kekhawatiran akan adanya ”penjarahan” jabatan karir profesional menjadi jabatan politik oleh kalangan parpol. Jabatan politik yang diangp tidak representaif untuk bagi-bagi kekuasaan menjadi salah satu alasan. Posisi yang dilirik adalah pada tingkat eselon 1 dan 2 di tiap departemen. Dapat dibayangkan apa jadinya jika jabatan birokrasi tersebut diisi oleh orang-orang politik yang sarat dengan berbagai kepentingan politiknya. Seharusnya jabaan-jabaan itu diisi oleh orang yang memang ahli di bidangnya. Belum lagi persoalan tarik-menarik kepentingan di dalam tubuh birokrasi itu sendiri. Aparat birokrasi yang berada di bawahnya akan seakin terfragentasi oleh kepentingan politik yang berbeda. Jika ini terjadi, birokrasi bukan lagi sebagai lembaga pelayan publik karena disibukkan dengan aktifitas politik di dalamnya.

Dengan masuknya kepentingan-kepentingan politik dalam tubuh birokrasi, maka praktek-praktek KKN pun akan semakin merajalela. Praktek KKN itu akan dibenarkan selama menguntungkan partai politik pemegang kekuasaan saat itu. Hal ini yang akan semakin merusak mentalitas birokrasi kita.

Jika politisasi pendidikan, apa yang akan trjadi?

Terminologi politisasi pendidikan memiliki banyak arti dan pengertian, namun yang dimaksud adalah menguasai aneka jabatan di lingkungan Departemen Pendidikan oleh partai politik sehingga kebijakan pendidikan yang diambil berpotensi dibumbui dengan kepentingan partai politik tertentu. Politisasi pendidikan merupakan salah satu upaya memperluas kiprah para politisi dalam jabatan eksekutif pada berbagai departemen dan kementerian pemerintah. Tegasnya, jabatan eselon satu seperti direktur jenderal (Dirjen), sekretaris jenderal (Sekjen), inspektur jenderal (Irjen), dan sebagainya, diusahakan untuk menjadi jabatan politik; yaitu suatu jabatan yang diisi oleh orang-orang politik.

Beberapa politisi sekarang ini sedang mengupayakan agar eselon satu dapat diformalkan menjadi jabatan politik melalui perubahan UU No.43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU No.8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Upaya memformalkan eselon satu menjadi jabatan politik tentu berlaku untuk semua departemen, tidak terkecuali Departemen Pendidikan. Itu berarti para pemimpin Departemen Pendidikan secara langsung akan dikuasai para politisi atau orang-orang politik yang tidak ada jaminan menguasai tugas-tugas keeksekutifannya. Dan ketika itu sudah terjadi, itu berarti, setidaknya, enam pejabat eselon satu diisi oleh orang-orang politik; yaitu jabatan direktur jenderal manajemen pendidikan dasar dan menengah (Mandikdasmen), direktur jenderal pendidikan tinggi (Dikti), direktur jenderal pendidikan formal dan informal (PNFI), Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK), Sekretaris Jenderal Depdiknas, dan Inspektur Jenderal Depdiknas. Apabila di antara menteri, Dirjen, Sekjen, dan Irjen tersebut -meskipun orang politik- memiliki kualifikasi dalam memimpin departemen serta kapabilitas dalam bekerja, kiranya tidak banyak menimbulkan masalah. Tetapi, jika yang mengisi jabatan tersebut adalah orang-orang yang tidak berkualifikasi dan tidak memiliki kapabilitas yang memadai, rusaklah bangunan pendidikan yang dengan susah payah telah kita susun selama bertahun-tahun.

Ilustrasi konkretnya: seorang Dirjen Mandiknasmen bisa memberlakukan kurikulum yang dianggap baik secara politis meskipun tidak baik secara akademis. Melalui kurikulum tersebut, anak didik secara sadar atau tidak sadar bisa diajarkan doktrin-doktrin yang ujung-ujungnya hanya menguntungkan partai politiknya.

Dirjen Dikti pun demikian. Dengan peraturan yang diciptakan, bukan tidak mungkin para dosen dan mahasiswa yang mempunyai latar belakang politik sama dengan dirinya akan mendapatkan lebih banyak kemudahan dibandingkan dengan dosen dan mahasiswa lain pada umumnya.

Bagaimana dengan Dirjen PMPTK yang ''menguasai" guru sekolah di Indonesia? Sama saja! Dengan penyediaan fasilitas dan pelayanan yang menggiurkan, maka akan banyak guru TK, SD, SMP, SMA, dan SMK yang dapat ''diarahkan" menuju kepentingan politik tertentu. Pendidikan adalah guru. Artinya, kalau guru dapat dikuasai, itu sama saja dengan seseorang tersebut telah menguasai pendidikan di negeri ini.

Seandainya pejabat eselon satu adalah orang-orang politik dari partai yang sama dan masih bekerja kompak pun sangat berpotensi merusak bangunan pendidikan nasional. Apalagi kalau para pejabat tersebut berasal dari partai yang berbeda, apalagi tidak kompak sebab sifat paternalisme rakyat Indonesia relatif sangat tinggi sampai sekarang ini. Artinya, afiliasi politis mereka cenderung ''mengekor" pemimpinnya. Hal ini juga akan terjadi di lingkungan Departemen Pendidikan meski ada aturan seorang PNS tidak boleh bermain politik praktis.

Bayangkan saja; kalau pejabat di Departemen Pendidikan nanti berasal dari partai politik yang berbeda, maka para staf dan karyawan akan terpecah belah ke berbagai kelompok dengan afiliasi politik yang berbeda pula.ini akan berimplikasi pada kualitas pelayanan terhadap civitas akademika.

Hal yan perlu diperhatikan adalah mencegah upaya politisasi pendidikan demi kelompok tertentu. Kebijakan pemerintah di bidang pndidikan tetap merupakan kebijakan politik. Namun persoalannya adalah bagaimana agar kebijakan itu dibuat dalam kerangka kemauan politik demi terciptanya arus pengetahuan dan informasi lebih terbuka. Perselingkuhan antara kekuasaan-kapitalisme-pendidikan perlu dicegah.

Menurut Muchlis Luddin (Suara Pembaruan, 28 April 2008: hal 14), Depdiknas menjalankan program semaunya dan cenderung berorintasi proyek. Dengan demikian, oleh elit politik, sejumlah program pendidikan dijadikan ajang kepentingan jangka pendek. Politisasi pendidikan dalam bentuk regulasi kebijakan di daerah dalam bntuk peraturan daerah yang cenderung diskriminatif dan jauh dari semangat pluralisme juga harus dihentikan. Menurut Darmaningtyas, tindakan yang memolitisasi kebijakan yang berkaitan dengan pendidikan untuk kelompok tertentu merupakan salah satu penyebab terhambatnya perkmbangan kualitas pendidikan bangsa (Media Indonesia, 13 Mei 2005; hal 6-8).

Meskipun sudah melakukan reformasi di tahun 1998 ternyata untuk melakukan suatu perubahan dalam berbirokrasi atau reformasi birokrasi adalah hal yang sangatlah sulit. Kepentingan-kepentingan partai masih saja mengintervensi birokrasi pemerintahan di Indonesia. Implikasi dari adanya politisasi birokrasi, pelayanan yang sarat dengan nuansa kultur kekuasaan, publik menjadi pihak yang paling dirugikan.

Kultur kekuasaan dalam birokrasi yang dominan membawa dampak pada terabaikannya fungsi pelayanan birokrasi sebagai abdi masyarakat. Pada tataran tersebut sebenarnya berbagai praktik penyelewengan yang dilakukan oleh birokrasi terjadi tanpa dapat dicegah secara efektif. Karena masih melekatnya budaya birokrasi yang diwariskan masa orde baru, penyelewengan yang dilakukan birokrasi terhadap masyarakat pengguna jasa menjadikan masyarakat sebagai objek pelayanan yang dapat dieksploitasi untuk kepentingan pribadi pejabat ataupun aparat birokrasi.

Epilog

Perjalanan kehidupan birokrasi di Indonesia selalu dipengaruhi oleh kondisi sebelumnya. Budaya birokrasi yang telah ditanamkan sejak jaman kolonialisme berakar kuat hingga reformasi saat ini. Paradigma yang dibangun dalam birokrasi Indonesia lebih cenderung untuk kepentingan kekuasaan. Hal ini lah yang terjadi pula pada dunia pendidikan. Politisasi birokrasi pendidikan masih terjadi pada reformasi ini.

Carut marutnya pendidikan nasional tercermin dari tidak adanya blueprint yang menjadi komitmn bersama antara lembaga Kepresidenan dengan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Arah pendidikan Indonesia berjalan tanpa landasan falsafah yan jelas, sehingga menyebabkan kekacauan. Ini disebabkan karena terlalu kuatnya kehendak intervnsi politis dalam soal pendidikan, sehingga dunia pendidikan bergantung pada interes kelompok penguasa.

Sebenarnya penguatan atau ”penaklukan” birokrasi bisa saja dilakukan, dengan catatan bahwa penaklukan tersebut didasarkan atas itikad baik untuk merealisasikan program-program yang telah ditetapkan pemerintah. Namun sayangnya, penaklukan ini hanya dipahami para pelaku politik adalah untuk memenuhi ambisi dalam memupuk kekuasaan.

Indonesia Menuju Kebangkrutan


Tanpa penanganan yang benar, Indonesia di masa depan akan menjadi sejarah. Saat ini, kita sedang berada di depan pintu “kebangkrutan”, sesuatu yang bukan lagi lelucon murahan tapi sudah sangat nampak di depan mata kita. Meskipun data-data pemerintah mencoba menawarkan optimisme, namun fakta kembali tidak dapat menutupi pesimisme mengenai masa depan Indonesia di bawah kendali rejim neoliberal.
Ancaman Utang Luar Negeri
Sampai saat ini, pemerintah belum bisa menutupi kekhawatiran kita mengenai dampak penumpukan utang luar negeri. Menurut pemerintah, seperti disampaikan Menkeu Sri Mulyani, rasio utang luar negeri terhadap PDB terus menurun. Kalau pada 2000 rasio utang terhadap PDB mencapai 89% maka pada 2004 turun menjadi 57% dan pada akhir 2008 menjadi 33%. Diperkirakan, pada 2009 turun menjadi 32%.
Penurunan rasio ini, seperti diakui pemerintah, didorong oleh peningkatan dalam nilai PDB kita. Masalahnya, perhitungan PDB Indonesia merujuk output/produksi ekonomi nasional, termasuk yang dihasilkan perusahaan maupun tenaga kerja asing. Sebagian besar faktor pendorong penambahan PDB itu adalah sumbangan pihak asing yang bekerja di Indonesia.
Jika dihubungkan dengan PNB (Produk Nasional Bruto), maka nilai penambahan PDB jauh melampaui PNB. Menurut data BPS pada tahun 2005, sebagai contoh, PDB berjumlah Rp 2.729,7 triliun, sedangkan PNB Rp 2.644,3 triliun. Dengan selisih yang sangat besar, skema ini menunjukkan masih kuatnya pengaruh pengerukan sumber daya oleh kekuatan imperialis di Indonesia.
Fakta lainnya, meskipun rasio utang terhadap PDB menurun, namun stock utang justru terus meningkat dalam empat tahun terakhir. Tahun 2004, total utang pemerintah jika dirupiahkan Rp 1.295 triliun, sedangkan total utang negara per Maret 2009 mencapai Rp1.700 triliun. Ada peningkatan sekitar 30% dalam lima tahun ini.
Sebagian dari utang ini akan jatuh tempo dalam waktu dekat, dan ini tentu sangat berbahaya bagi Indonesia yang 16% APBN-nya dipakai untuk menutupi pinjaman utang luar negeri. Belum lagi, krisis ekonomi global berpotensi mendorong pemerintah AS menerbitkan surat obligasi berbungan tinggi, sehingga Indonesia harus membayar jumlah bunga yang lebih tinggi dibanding pada saat penawaran. Artinya, keberhasilan pemerintah menurunkan rasio utang terhadap PDB hanyalah prestasi bias, sebab tidak didukung oleh fakta konkret.
Konsumsi Dibiayai Utang
Masalah lainnya adalah jatuhnya kemampaun masyarakat untuk berkonsumsi. Ada kontradiksi konstan antara pertumbuhan cepat dari kekuatan produksi dan kemampuan massa untuk mengkonsumsi. Tentu saja ada iklan, sistem kredit, dan usaha lain untuk mempromosikan konsumerisme, semua itu terjadi, tetapi tidak selalu bekerja dengan baik.
Jika kita memperhatikan tolak ukur kemampuan konsumsi masyarakat, yaitu indeks penjualan ritel (IPR) dan Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK), memang masih terjadi pertumbuhan. AC Nielsen, misalnya, masih memprediksikan sektor ritel nasional bakal tumbuh 15 persen. Akan tetapi, setelah diperiksa dengan baik, pemicu pertumbuhan konsumsi ini adalah kredit (utang).
Hampir seluruh konsumsi masyarakat kini, baik kelas menengah maupun miskin, dibiayai melalui utang. Berdasarkan data Bank Indonesia per November 2008, pertumbuhan kredit konsumsi tumbuh 32,03 persen menjadi Rp 275,7 triliun jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Di tahun 2009, pertumbuhan kredit konsumsi semakin menggila, yaitu sebesar Rp110,8 triliun atau 41,5% menjadi Rp377,9 triliun.
Untuk kalangan bawah, konsumsi dibiayai oleh program sosial neoliberal, diantaranya BLT, PNPM, KUR, Biaya Operasional Sekolah, dsb, melalui skema pinjaman luar negeri. Bahkan, kenaikan gaji anggota TNI/Polri sebesar 5% juga dibiayai melalui tambahan utang di APBN.
Jadi, kenaikan konsumsi masyarakat bukan karena perbaikan daya beli, ataupun pendapatan: upah, laba, dan sewa. Pendapatan rakyat mayoritas, seperti pekerja, petani, UKM, terus mengalami penurunan signifikan akhir-akhir ini.
Pengangguran dan Sektor Informal Berkembang Pesat
Menurut data, hingga februari 2009, jumlah mereka yang bekerja di sector informal sudah mencapai 70 juta orang, atau 70% dari total angkatan kerja. Ini berarti sebagian besar rakyat kita tidak lagi bekerja di sector ekonomi yang diorganisasikan oleh Negara, melainkan hidup dari ekonomi jalanan dan perekonomian gelap.
Ini bertentangan dengan semangat konstitusi dasar (UUD 1945), bahwa tiap warga Negara berhak mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak. Dengan demikian, kegagalan Negara dalam memberikan lapangan pekerjaan yang layak kepada 70%, dapat dipandang sebagai manifestasi inskonstitusiona. Bukankah Negara tanpa hukum adalah anarki.
Bagi kapitalisme, pengangguran merupakan solusi parsial, asalkan tidak begitu tinggi dan mengancam revolusi sosial. Mengapa? Karena, selama ada pengangguran, maka kapitalis dapat menahan atau melemahkan pekerja dalam negosiasi upah, menekan serikat buruh, dan menurunkan daya tawar buruh di pasar tenaga kerja. Harus disadari, bahwa ancaman PHK merupakan salah satu mekanisme kapitalis untuk mendisiplinkan kelas pekerja.
Tingkat pengangguran yang sangat tinggi, bukan sekedar menjadi persoalan sosial, tetapi juga sangat berpengaruh terhadap tingkat permintaan terhadap output produksi para kapitalis. Harus disadari, bahwa nilai surplus dapat diperoleh melalui rangkaian produksi dan terwujud di dalam komoditi itu sendiri. Sedangkan profit (keuntungan) hanya dapat diperoleh setelah melalui sirkulasi (terjual di atas biaya produksi). Dengan demikian, tingkat keuntungan sangat dipengaruhi oleh tingkat permintaan, atau biasa disebut oleh para Keynesian sebagai “permintaan efektif”. Semakin banyak penganggur dan berpendapatan rendah, maka menurut Josef Steindl, Paul Baran, Paul Sweezy, tingkat permintaan akan sangat merosot karena proporsi terbesar dari konsumsi masyarakat adalah konsumsi kelas pekerja dan kalangan bawah.
Dampaknya lebih jauh adalah efek kelebihan produksi , khususnya industry di dalam negeri, sehingga semakin mempercepat proses de-industrialisasi. Ada kontradiksi konstan antara pertumbuhan cepat dari kekuatan produksi dan kemampuan massa untuk mengkonsumsi. Tentusaja ada iklan, sistem kredit, dan usaha lain untuk mempromosikan konsumerisme, semua itu terjadi, tetapi tidak selalu bekerja dengan baik.
Kebijakan neoliberal yang begitu deras dalam dekade terakhir, khususnya di bawah pemerintahan SBY, turut berkontribusi kepada meningkatnya gejolak de-industrialisasi di dalam negeri. Pada triwulan ketiga 2009, pertumbuhan industry hanya mencapai 1,3 persen, tak sampai sepertiga pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) yang mencapai 4,2 persen.
Di bawah kapitalisme, industry merupakan salah satu lapangan tempat mengolah dan menghasilkan keuntungan (profit). Jika benar, Negara adalah organisasi kelas tertentu, dalam hal ini Negara kapitalis, maka Negara seperti Indonesia ini sebetulnya sudah bangkrut. Sebab, negeri ini tidak lagi sanggup menyediakan “mesin” pencipta profit bagi kapitalis Indonesia, dalam hal ini adalah Industri.
Semakin banyak pengangguran dan sektor informal, semakin sedikit kelompok pembayar pajak untuk Negara. Apalagi, di Indonesia, pendapatan di bawah 5 juta per-bulan tidak kena pajak. Ini malapetaka bagi Indonesia, sebuah Negara yang 80% penerimaan APBN-nya digenjot dari setoran pajak.
Sumber Daya Dijarah Asing
Dengan sumber daya alam yang melimpah, mengutip Bung Karno, seharusnya itu menjadi bagian dari jembatan emas untuk mensejahterakan rakyat Indonesia. Sumber daya alam itu telah menjadi syarat-syarat kemajuan bagi Indonesia: Indonesia adalah penghasil biji-bijian terbesar ke-6 di dunia, penghasil beras ke-3 di dunia setelah China dan India, penghasil teh terbesar ke-6 di dunia, penghasil kopi terbesar ke-4 di dunia, dan penghasil coklat terbesar ke-3 di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana.
Juga penghasil terbesar minyak sawit dunia, penghasil karet alam kedua, penghasil cengkeh terbesar, penghasil tembaga ketiga setelah Cili dan AS, penghasil timah kedua dunia, penghasil nikel ke-6, penghasil emas ke-8 dunia, penghasil natural gas keenam, serta penghasil batubara ke-9 dunia.
Namun, di bawah rejim neoliberal, seperti para kolonialisator dulu, semua syarat-syarat kemajuan itu telah diserahkan kepada pihak asing, kemudian rakyat kita harus membeli kembali dengan harga lebih mahal. Sekarang ini, pihak asing sudah menguasai 80-90% pengelolaan migas kita, dan hampir 100% perusahaan tembaga dan energy adalah perusahaan asing.
Bersamaan dengan itu, kepemilikan asing di sector perbankan juga sudah mencapai 60%, sebuah posisi yang cukup dominan dalam mengarahkan perbankan.
Semua itu dimungkinkan oleh UU Penanaman Modal yang baru, sebuah persembahan terbaik SBY kepada tuan-tuannya (imperialis), sebab mengijinkan kepemilikan asing terhadap asset nasional hingga 99%. Akibat dari semua itu, Mulai dari telekomunikasi, angkutan laut, migas, mineral, sumber daya air, perkebunan sawit, hingga sektor pendidikan, kesehatan (medis), ritel, dan industri lain. Sekitar 75 persen pasar garmen nasional dikuasai asing. Bahkan jarum jahit, sandal jepit, pangan seperti daging, susu, kedelai, jagung, gula, sayur-sayuran, buah-buahan, hingga garam pun impor.
Meskipun memiliki hamparan sawah yang sangat luas, Indonesia justru masuk dalam daftar pengimpor beras di dunia. Begitu pula dengan kebutuhan gula, tiap tahunnya kita mengimpor 30% kebutuhan gula nasional, padahal kita pernah menjadi eksportir gula semenjak jaman kolonial dulu. Indonesia juga mengimpor 45% dari kebutuhan kedelai, 10% kebutuhan jagung, 15% kebutuhan kacang tanah dan 70% kebutuhan susu.
Indonesia Sebagai Negara Diambang Kebangkrutan
Negara adalah adalah organ kekuasaan kelas, dalam hal ini Negara adalah alat penindasan kelas berkuasa. Ini merupakan kesimpulan tidak terbantahkan. Bankrutnya Negara Indonesia bukan berarti bahwa saya sedang menangisi hilangnya sebuah organisasi penindasan, tidak sama sekali.
Terbentuknya Negara Indonesia karena hasil perjuangan anti-kolonial. Ini merupakan kesimpulan tak terbantahkan. Aspek penting dari perjuangan anti-kolonial adalah persatuan kepentingan berbagai klas (borjuis kecil progressif, pekerja, petani) melawan kapitalis penjajah.
Karena itu, seperti dijelaskan oleh Michael Kalecki, seorang ekonom progressive terkenal, Negara paska kolonial selalu menegaskan kebijakan yang relatif independen dan mandiri dari negeri-negeri penjajah (imperialis). Dalam hal ini, Kalecki menyebutkan dua ciri bagi Negara paska kolonial; mengutamakan sektor publik dan non-blok (tidak memihak).
Sektor publik, yang dibangun oleh sebagian besar Negara dunia ketiga bekas jajahan dengan bantuan Soviet, adalah benteng untuk menghadapi negeri-negeri imperialis. Itu digunakan untuk membangun basis industry di dalam negeri, mencapai kemandian teknologi, mengembangkan skill-dasar ekonomi, dan untuk menyediakan pengaturan bagi kapitalisme domestic, termasuk di dalamnya borjuis nasional, produsen kecil, pemilik agro bisnis, dsb. Disamping itu, sektor public juga menjadi mekanisme bagi Negara nasional untuk memberi perlindungan khusus bagi kesejahteraan rakyatnya—pekerja, petani, dan kaum miskin lainnya. Inilah elemen progressif dari Negara dunia ketiga.
Sedangkan prinsip non-blok, pada prakteknya, diperlukan oleh Negara bekas jajahan untuk menciptakan jarak terpisah jauh dengan Negara imperialis, namun tetap membuka pintu bagi Uni Sovyet dan camp anti-imperialis. Indonesia pernah menjadi deklarator gerakan non-blok pada tahun 1950-an.
Di dalam praktiknya, imperialisme selalu menyerang kedua ciri kebijakan negeri bekas jajahan ini, dan terutama sekali yang pertama. Segera, terutama di bawah neoliberalisme, negeri imperialis mendiskreditkan setiap bentuk kebijakan publik, mempromosikan privatisasi. Masuknya neoliberalisme, seperti dicatat Alvaro Garcia Linera, wakil presiden Bolivia saat ini, disertai dengan penyusutan dan deformasi negara, terutama aspek negara yang baik-buruknya berhubungan dengan konsep kolektif atau ide-ide kesejahteraan. Neo-liberalisme bertujuan menghancurkan pengertian negara sebagai kolektif atau penjamin kesejahteraan, demi menerapkan tipe ideologi korporat yang menyerukan pengambil-alihan dan penjarahan kekayaan kolektif yang diakumulasikan berkali-kali oleh dua, tiga, empat, atau lima generasi.
Jadi, sekali lagi, yang saya hendak tegaskan, bahwa Indonesia yang sedang berada di ambang kebangkrutan adalah Indonesia hasil perjuangan anti-kolonial, sebuah negeri hasil perjuangan pembebasan nasional selama berates-ratus tahun. Yang menghancurkan bukan saja imperialisme, tetapi sebuah kelompok politik, teknokrat, dan kaum liberal (aktivis, seniman, penulis, dll) pemuja dunia pertama-imperialisme.
*) Rudi Hartono adalah peneliti di Lembaga Pembebasan Media Ilmu Sosial (LPMIS), Pemimpim Redaksi Berdikari Online, dan pengelola Jurnal Arah Kiri.

sumber : ekonomi.kompasiana.com

Sabtu, 20 November 2010

Ciamis

Proses lahirnya hari jadi Kabupaten Ciamis, diawali dengan keluarnya Surat Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Ciamis tanggal 6 oktober 1970 nomor: 36/x/kpts/DPRD/1970 dan nomor : 5/ll/kpts/DPRD/1971, tentang pembentukan panitia penyusunan sejarah Galuh, yang dalam pelaksaannya panitia tersebut didampingi oleh tim ahli sejarah ikip bandung, yang dipimpin oleh drs. Rd.h. Said Raksanegara.

Dibentuknya panitia penyusunan sejarah Galuh, dimaksudkan untuk menelusuri dan mengkaji sejarah Galuh secara menyeluruh, mengingat terdapat beberapa alternatif didalam menetapkan hari jadi tersebut, apakah akan memaka! Titimangsa rahyangta di medangjati yaitu mulai berdirinya kerajaan Galuh oleh wretikkandayun tanggal 23 maret 612 m atau zaman Rakean Jamri yang juga disebut raiyang sanjaya sebelum sang manarah berkuasa, atau akan mengambil tanggal dan tahun dari peristiwa peristiwa, sebagai berikut:
1.digantinya nama kabupaten Galuh menjadi Kabupaten Ciamis
oleh Bupati Rd. Tumenggung Sastra Winata pada tahun 1916;
2.pindahnya pusat pemerintahan dari imbanagara ke cibatu (ciamis) oleh bupati rd. Aa wiradikusumah padatanggal 15 januari 1815;
3.atau berpindahnya pusat kabupaten Galuh dari garatengah yang letaknya di sekitar Cineam (Tasikmalaya) ke Barunay (Imbanagara) pada tangal 12 juni 1642.

hasil kerja keras panitia penyusun se]arah Galuh dan tim ahli sejarah IKIP Bandung, akhirnya menyimpulkan bahwa hari jadi Kabupaten Ciamis jatuh pada tanggal 12 juni 1642, yang kemudian dikukuhkan dengan surat keputusan dewan perwakilan rakyat daerah Kabupaten Ciamis tanggal 17 mel 1972 nomor: 22/v/kpts/DPRD/ 1972.

dengan keputusan DPRD tersebut, diharapkan teka -teki mengenai hari jadi Kabupaten Ciamis tidak dipertentangkan lagi dan juga diharapkan seluruh masyarakat mengetahui, sehingga akan lebih bersemangat untuk membangun tatar Galuh ini, sejalan dengan moto juang Kabupaten Ciamis, yaitu:
Pakena gawe rahavu pakeun heubeul jaya dinabuana untuk mengejar / mewujudkan mahayunan ayuna kadatuan.

kata Galuh berasal dari bahasa sansekerta, yang berarti batu permata, kerajaan Galuh berarti kerajaan batu permata yang indah gemerlapan, subur makmur gemah ripah loh jinawi, aman tentram kertaraharja.

Dari sejarah terungkap bahwa pendiri kerajaan Galuh adalah Wretikkandayun, ia adalah putra bungsu dari Kandiawan yang memerintah Kerajaan Kendan selama 15 tahun ( 597 — 612) yang kemudian menjadi pertapa di Layungwatang (daerah Kuningan) dan bergelar Rajawesi Dewaraja atau Sang Layungwatang.

wretikkandayun berkedudukan di Medangjati, tetapi ia mendirikan pusat pemerintahan yang baru dan diberi nama Galuh (yang lokasinya kurang lebih di desa karangkamulyan sekarang). Ia dinobatkan pada tanggal 14 Suklapaksa Bulan Caitra tahun 134 caka (kira – kira 23 maret 612 Masehi). Tanggal tersebut dipilihnya benar-benar menurut tradisi Tarumanagara, karena tidak saja dilakukan pada hari purnama melainkan juga pada tanggal itu matahari terbit tepat di titik timur.

Tujuan wretikkandayun membangun pusat pemerintahan di daerah Karangkamulyan (sekarang) adalah untuk membebaskan diri dari Tarumanagara, yang selama itu menjadi negara “adikuasa”. Oleh karena itu demi mewujudkan obsesinya ia menjalin hubungan balk dengan kerajaan kalingga di jawa tengah, bahkan putra bungsunya mandi minyak di jodohkan dengan Parwati putri Sulung Maharanissima.

Kesempatan. Untuk menjadi negara yang berdaulat penuh, terjadi pada tahun 669 ketika Linggawarman (666 — 669) Raja Tarumanagara yang ke 12 wafat. Ia digantikan oleh menantunya (suami Dwi Manasih) bernama terus bawa yang berasal dari Kerajaan Sunda Sumbawa.

terus bawa inilah yang pada saat penobatannya tanggal 9 suklapaksa bulan yosta tahun 951 caka (kira-kira 17 Mei 669 Masehi), ia mengubah kerajaan Tarumanagara menjadi negara sunda.

masa kerajaan Galuh berakhir kira-kira tahun 1333 Masehi ketika RajA Ajiguna Lingga Wisesa atau Sang Dumahing Kending (1333 — 1340) mulai bertahta di Kawali, sedangkan kakaknya Prabu Citragada atau Sang Dumahing Tanjung bertahta di Pakuan Pajajaran.

Lingga Wisesa adailah Kakek Maharaja Linggabuana yang gugur pada perang bubat tahun 1357, yang kemudian diberi gelar Prabu Wangi. Ia gugur bersama putri sulungnya Citra Resmi atau Diah Pitaloka. Diah Pitaloka mempunyai adik laki — laki yang bernama Wastu Kancana dan diberi umur panjang.

ketika perang bubat berlangsung, Wastu Kancana baru berusia 9 tahun dibawah bimbingan pamannya yaitu Mangkubumi Suradipati alias Sang Bumi Sora atau batara guru di Jampang, Wastu Kancana berkembang menjadi seorang calon raja yang seimbang keluhuran budinya lahir bathin, sepeti tersebut pada wasiatnya yang tertulis pada prasasti Kawali yaitu:
-negara akan jaya dan unggul perang bila rakyat berada dalam kesejahteraan (kareta beber).
-raja harus selalu berbuat kebajikan (pakena gawe rahayu).
itulah syarat yang menurut wasiatnya untuk dapat pakeun heubeul jaya dina buana, pakeuna nanjeur najuritan untuk menuju mahayunan ayuna kadatuan.
Pada masa pemerintahan Prabu Niskala Wastu Kancana negara dan rakyatnya berada dalam keadaan aman tenteram kertaraharja, para abdi dalem patuh dan taat terhadap peraturan ratu yang dilandasi oleh purbastiti dan purbajati.

Wastu Kancana mempunyai dua orang isteri, yaitu larasati (puteri resi susuk lampung) dan mayangsari. Putra sulung dari larasati yang bernama sang halimun diangkat menjadi penguasa kerajaan sunda berkedudukan di pakuan pajajaran pada tahun 1382.

Dari mayangsari Wastu Kancana mempunyai empat orang putera yaitu Ningrat Kencana, Surawijaya, Gedeng Sindangkasih dan Gedeng Tapa. Ningrat Kencana diangkat menjadi mangkubumi di kawali dengan gelar surawisesa.

Wastu Kancana wafat pada tahun 1475 dan digantian oleh Ningrat Kencana dengan gelar prabu dewa niskala berkedudukan di Kawali, yang hanya menguasai kerajaan Galuh, karena kerajaan sunda dikuasai oleh kakaknya yaitu sang halimun yang bergelar prabu susuk tunggal. Dengan wafatnya wastu kancana, maka berakhirlah periode kawali yang berlangsung selama 142 tahun (1333 — 1475).

dalam periode tersebut. Kawali menjadi pusat pemerintahan dan keraton surawisesa menjadi persemayaman raja-rajanya terlebih lagi sribaduga maharatu haji sebagai pewaris terakhir tahta kerajaan Galuh dari ayahnya dewa niskala yang pusat kerajaanya di keraton surawisesa pindah ke pakuan pajajaran (bogor sekarang) untuk merangkap jabatan menjadi raja sunda yang dianugerahkan dari mertuanya, maka sejak itu Galuh sunda bersatu kembali menjadi pakuan pajajaran dibawah kekuasaan sri baduga maharaja ratu haji di pakuan pajajaran sri sang ratu dewata yang kini lazim disebut prabu siliwangi.

Penanggalan pada zaman kerajaan Galuh bihari nampaknya kurang tepat bila dijadikan penanggalan hari jadi Kabupaten Ciamis, karena luas teritorialnya sangat jauh berbeda dengan keadaan Kabupaten Ciamis sekarang.

Nama kerajaan Galuh baru muncul tahun 1595, yang sejak itu mulai masuk kekuasan mataram. Adapun batas-batas kekuasaannya sebaga! Berikut :
-di sebelah timur, Sungai Citanduy;
-di sebelah barat, galunggung Sukapura;
-Di Sebelah Utara, Sumedang Dan cirebon; Sungai Citanduy;
-di sebelah selatan, Samudera Hindia.

Daerah – daerah Majenang, Dayeuh Luhur dan Pagadingan termasuk juga daerah Galuh masa itu ( menurut dr. F. Dehaan) dan ternyata dari segi adat istiadat dan bahasa masih banyak kesamaan dengan tatar pasundan terutama sekali di daerah pegunungan.

kerajaan Galuh pada saat itu terbagi menjadi beberapa pusat kekuasaan yang dipimpin oleh raja – raja kecil ( Kandaga Lante ), yang kemudian dianggap sederajat dengan bupati yang antara satu dengan yang lainnya masih mempunyai hubungan darah mempunyai perkawinan. Pusat—pusat kekuasaan tersebut berada di wilayah cibatu, Garatengah, Imbanagara, Panjalu, Kawali, Utama (Ciancang), Kertabumi (Bojonglopang ) Dan Kawasen (Desa Banjarsari).

pengaruh kekuasaan mataram sedikit banyak mewarnai tata cara pemerintahan dan budaya kerajaan Galuh dari tata cara buhun sebelumnyai pada zaman itu mulai ada pergeseran antara bupati yang satu dengan bupati yang lainnya, seperti adipati panaekan putra prabu Galuh cipta pertamana diangkat menjadi bupati wedana (semacam gubernur) di Galuh oleh Sultan Agung.

Pengangkatan tersebut menyulut perselisihan faham antara dipati panaekan dengan adipati kertabumi yang berakhir dengan tewasnya adipati panaekan. Jenazahnya dihanyutkan ke sungai citanduy dan dimakamkan di pasarean karangkamulyan.
sebagai penggantinya ditunjuk adipati Imbanagara yang pada waktu itu berkedudukan di Garatengah (Cineam-Tasikmalaya). Usaha sultan agung untuk melenyapkan kekuasaan voc di batavia pada penyerangan pertama mendapat dukungan penuh dari adipati ukur, walaupun pada penyerangan itu gagal.

pada penyerangan kedua ke batavia, dipati ukur mempergunakan kesempatan tersebut untuk membebaskan daerah ukur dan sekitarnya dari pengaruh kekuasaan mataram. Politik dipati ukur tersebut harus dibayar mahal , yaitu dengan terbunuhnya dipati imbanagara ( yang dianggap tidak setia lag! Kepada mataram ) oleh utusan mataram yang dipenggal kepalanya dan dibawa ke mataram sebaga! Barang bukti. Sedangkan badannya dimakamkan di bolenglang (kertasari). Tetapi kepala dipati imbanagara dapat direbut lagi oleh para pengikutnya walaupun terjatuh di sungat citanduy, yang kemudian tempat jatuhnya disebut leuwi panten.

kedudukan dipati imbanagara selanjutnya digantikan oleh puteranya yang bernama mas bongsar atau raden yogaswara dan atas jasa-jasanya dianugerahi gelar raden adipati panji jayanegara.

Pada masa pemerintahan raden Adipati Panji Jayanegara, pusat kekuasaan pemerintahan dipindahkan dari garatengah ke Calingging yang kemudian dipindahkan lag! Ke Barunay ( imbanagara sekarang ), pada tanggal 14 maulud atau pada tanggal 12 juni 1642 m.

Perpindahan pusat kabupaten Galuh dari garatengah ke imbanagara, mempunyai arti penting dan makna yang sangat dalam bagi perkembangan kabupaten Galuh berikutnya dan merupakan era baru pemerintahan Galuh menuju terwujudnya Kabupaten Ciamis dikemudian hari, karena :
1.peristiwa tersebut membawa akibat yang positif terhadap perkembangan pemerintahan maupun kehidupan masyarakat kabupaten Galuh yang mempunyai batas teritorial yang pasti dan terbentuknya sentralisasi pemerintahan
2 .perubahan tersebut mempunyai unsur perjuangan dari pemegang pimpinan kekuasaan terhadap upaya peningkatan kesejahteraan rakyatnya dan adanya usaha memerdekakan kebebasan rakyatnya dari kekuasaan penjajah.

3.kabupaten Galuh dibawah pemerintahan bupati rd. Adipati arya panji jayanegara mampu menyatukan wilayah Galuh yang merdeka dan berdaulat tanpa kekerasan.
4.adanya pengakuan terhadap kekuasaan mataram dari kabupaten Galuh semata-mata dalam upaya memerangi penjajah (voc) dan hidup berdampingan secara damai.
5.sejarah perkembangan kabupaten Galuh tidak dapat dipisahkan dari sejarah terbentuknya Kabupaten Ciamis itu sendiri. Dirubahnya nama kabupaten Galuh menjadi Kabupaten Ciamis pada tahun 1916 oleh bupati rd. Tumenggung satrawinata (bupati ke 18) sampa! Sekarang belum terungkap alasannya merupakan fakta sejarah yang tidak bisa dipungkiri dan dihindari.
atas pertimbangan itulah dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten daerah tingkat ii ciamis dalam sidang paripurna khusus tanggal 17 mel 1972 dengan surat keputusannya, sepakat untuk menetapkan tanggal 12 juni 1642 sebagai hari jadi Kabupaten Ciamis.
demikianlah sekilas pintas sejarah hari jadi Kabupaten Ciamis yang kita banggakan dan kita cintai mudah mudahan “komara” Galuh ciamis terus cemerlang dan makin gemerlap oleh keluhuran budi masyarakat dan aparatur pemerintahnya.
semoga rahmat, hidayah, innayah serta allah swt selalu menyertai kita semua.